“Sebagai upaya prakteknya, perlu aturan hukum yang efektif diterapkan di masyarakat”
Jakarta, Metropol – Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Dr. Anang Iskandar, SH, MH menyambangi BNN Aceh di Kantornya Jl. Dr. Mr. T. Muhammad Hasan Lorong Geuchik Amin Ahmad, Lamcot, Banda Aceh. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka kunjungan kerja guna meninjau perkembangan kinerja BNNP Aceh sekaligus memberi dorongan dan semangat juang kepada seluruh personel dalam menanggulangi permasalahan Narkoba khususnya di wilayah Aceh.
Dalam pengarahannya Anang Iskandar mengatakan, BNN pada tahun 2015 ini diberi amanat untuk menjalankan program rehabilitasi terhadap 100.000 penyalahguna Narkoba di Indonesia. Banyak hal yang perlu diperjuangkan untuk mencapai target tersebut. Diperlukan upaya maksimal, tak hanya oleh BNN pusat tetapi juga BNNP dan BNNK/Kota seluruh Indonesia salah satunya Aceh.
Untuk tingkat nasional penyalahguna Narkoba berada pada angka 2,2 % atau sekitar 4 juta dan negara mengalami kerugian hingga mencapai Rp. 63,1 trilyun. Jumlah penyalahguna tersebut tak berimbang dengan jumlah fasilitas rehabilitasi yang ada di Indonesia. Baik swasta maupun milik pemerintah. Dan BNN sendiri hanya mampu melakukan rehabilitasi terhadap 18.000 penyalahguna Narkoba setiap tahunnya. Lebih lanjut Anang mengatakan bahwa BNN sadar akan keterbatasan kemampuan dalam upaya rehabilitasi. Maka BNN menggandeng seluruh instansi terkait, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, KemenkumHAM dan sebagainya, guna merealisasikan upaya tersebut secara menyeluruh dan merata di Indonesia.
Sementara itu Kepala BNNP Aceh Kombes Pol Drs Armensyah Thay dalam laporannya mengatakan jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba di wilayah Aceh tidak sedikit. Hasil survei nasional tahun 2014 menduduki posisi ke 12 (dua belas) dengan jumlah prevalensi penyalahguna sebanyak 73.201 jiwa atau sekitar 2.08 % dari jumlah penduduk Aceh.
Sebagai upaya prakteknya, perlu aturan hukum yang efektif diterapkan di masyarakat, sehingga akan tercapai aturan yang ada. Dalam Undang-Undang Narkotika yang beberapa kali diganti dengan Undang-Undang baru, karena Undang-Undang yang lama sudah tertinggal oleh perkembangan dan maraknya penggunaan dan peredaran gelap Narkotika di Indonesia, yang menunjukan kecenderungan semakin meningkat dan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika karena adanya kesadaran yang mendasar bahwa diperlukan upaya rehabilitatif, khususnya bagi pengguna karena keterbatasan efek jera pemenjaraan dan fasilitas serta sumberdaya yang ada. Terkait pelaksanaannya Pemerintah juga menetapkan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Tujuannya adalah untuk memenuhi hak Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosia dengan melibatkan masyarakat. Penjara bukan jawaban untuk menyembuhkan pengguna narkotika. Oleh karenanya, diperlukan sebuah pola baru yang membantu pengguna keluar dari kecanduan, bukan menempatkan mereka dalam penjara. Hanya rehabilitas yang akan membawa mereka keluar dari kecanduan. Dan tentunya Pemerintah mengharapkan masyarakat memahami tujuan dari peraturan tersebut dan melaksanankannya.
Salah satu upaya ke arah itu adalah melalui peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Scholten memberikan rumusan sebagai berikut; “Kesadaran hukum itu tidak lain dari pada suatu kesadaran yang ada dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan taat kepada hukum”. Kesadaran hukum meliputi pengetahuan masyarakat tentang hukum, penghayatan masyarakat terhadap hukum, dan ketaatan masyarakat terhadap hukum.
Artinya, pemahaman masyarakat tidak boleh terbatas hanya terhadap kaedah hukumnya saja, tetapi juga berkaitan dengan manusia sebagai subyek (pelaku) hukum yang meliputi, pengetahuannya terhadap peraturan hukum (termasuk) isi peraturannya, penghayatannya terhadap hukum serta ketaatannya terhadap hukum. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka permasalahannya yang perlu mendapat perhatian adalah langkah-langkah apa yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang pada gilirannya tercipta suatu suasana penegakan hukum yang baik.
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law mengemukakan bahwa suatu perilaku hukum mempunyai struktur sosialnya sendiri. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah susunan masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku hukum yang baik.
Struktur ekonomi harus diperbaiki, struktur politik harus diperbaiki, struktur pendidikan harus diperbaiki, struktur pertahanan keamanan harus diperbaiki, serta struktur-struktur lainnya yang terdapat dalam sistem sosial yang luas. Pandangan ini berkait erat dengan suatu asumsi bahwa hukum adalah sebagai produk sistem sosial. Sedangkan hukum itu sendiri adalah sub sistem dalam sistem sosial yang lebih luas. Jika Indonesia menghendaki adanya satu sistem hukum, maka langkah awal yang harus ditempuh adalah mempersatukan terlebih dahulu struktur sosial yang ada dalam arti homogen. Sistem Hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat. Untuk itu strategi yang dapat di lakukan adalah melalui penyampaian informasi yang benar dan dipercaya.
(Deni/HumasBNN)