
“Polri akan menggunakan parameter yang sama dalam mengidentifikasi tingkat kerawanan”
Jakarta, Metropol – Pilkada yang berlangsung serentak, memberikan persoalan tingkat kerawanan dan biaya tinggi bagi pengamanan Pilkada itu sendiri. Polri sebagai unsur pengamanan siap melaksanakan tugas tersebut.
Disisi lain kata Kapolri, pada acara “Silaturahmi Intelektual Muhammadiyah” di Jakarta, mengurai bahwa Polri nanti akan menggunakan parameter yang sama dalam mengidentifikasi tingkat kerawanan tersebut.
“Kami mendasarkan pada pemilihan Kabupaten atau Kota. Itu sudah ada parameternya. Pertama, kelengkapan penyelenggara. Kedua, sejarah konfliknya. Ketiga, partai politiknya, dualisme kepengurusan atau tidak. Kemudian karakter masyarakat dan situasi konflik,” ucapnya.
Badrodin mengungkapkan bahwa sifat serentak dalam pilkada mendatang tidak perlu dikhawatirkan karena Polisi sudah siap untuk proses pengamanannya. “Semua pasti ada (potensi konflik), seperti pemilu Presiden dan Legislatif, tidak apa-apa,” katanya ketika ditanya mengenai seberapa rawan terjadinya konflik dalam pelaksanaan pilkada serentak.
Selain itu, Badrodin juga mengatakan masalah anggaran yang saat ini masih dalam proses. “Yang sebelumnya kurang Rp 700 miliar. Kemarin sudah kurang Rp 500 miliar. Masih terus dilengkapi,” ucapnya.
Badrodin juga tak khawatir perihal kekurangan anggaran Pilkada yang diajukan. Sebab, saat ini persoalan tersebut masih dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat.
Berkaitan dengan netralitas Polri dalam Pilkada, Badrodin berjanji akan menindak tegas personelnya yang kedapatan menyalahi kode etik instansi.
“Sudah jelas ada ketentuannya dalam kode etik sudah ada. Kalau ada yang melanggar. Pasti ditindak,” ujar Badrodin dengan tegas
Indikasi keterlibatan personel polisi aktif dalam Pemilihan Presiden 2014 lalu mengingatkan masyarakat untuk menagih komitmen netralitas Polri. Untuk itu, Badrodin mengingatkan agar seluruh personelnya menjaga independensi dalam pelaksanaan Pilkada serentak.
“Pilkada bukan hanya sekarang. Pilkada bukan hanya kali ini. Pemilu juga ada. Kan, sudah ada instruksi saya. Sudah ada. Masih kurang!”
Optimistis Pilkada serentak 2015 berjalan sesuai rencana ini, juga didengungkan oleh Kementerian Dalam Negeri, melalui Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemeterian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek, di kantor Wakil Presiden, pecan lalu.
“Kita optimistis. Pilkada serentak 2015 merupakan perintah undang-undang yang merupakan kebijakan strategis nasional, di mana stakeholder harus memberikan dukungan yang memadai,” kata Moenek.
Kemendagri, kata dia, terus mengimbau pemerintah daerah agar memberi dukungan yang memadai untuk pelaksanaan pilkada serentak. Hingga saat ini, pos anggaran penyelenggaran pilkada telah 100 persen dialokasikan untuk KPUD di setiap daerah.
Sedangkan terkait dana pengawasan, masih ada sekitar 19 daerah yang belum meneken naskah perjanjian hibah daerah (NHPD) untuk Bawaslu Provinsi dan Panwaslu tingkat kebupaten-kota.
“Mereka semua hari ini kami dorong untuk melakukan percepatan penandatanganan NPHD dan menyalurkannya kepada Bawaslu dan Panwaslu,” ujarnya.
Tak hanya itu, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah menyatakan siap mendukung pelaksanaan pilkada serentak.
“Kapolri hari ini statement siap mengamankan Pilkada serentak,” tandasnya.
Dari pihak DPR, mengapresiasi tentang KPU. Menurutnya, dalam siaran pers yang diterima Metropol, terungkap, bahwa KPU harus berpijak pembinaan terhadap Penyelenggara Pemilu Daerah. Jangan sampai seluruh persoalan Pemilu lari ke Mahkamah Konstitusi, Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
“Orientasi kerja-kerja KPU RI dan Bawaslu RI sebaiknya ditujukan pada proses pembinaan dan supervisi jajaran di tingkat bawah. Dari 244 Pilkada di tahun 2010, lebih dari 90 persen berakhir di Mahkamah Konstitusi, PTUN, Pengadilan, Pengawas Pemilu, dan Pemecatan KPU di daerah oleh Dewan Kehormatan,” kata Frans Agung MP Natamenggala, anggota Komisi II DPR RI.
Ia melanjutkan, permasalahan menjelang Pilkada Serentak sudah bermunculan di daerah. Salah satunya adalah banyak calon perseorangan alias calon independen (non partai politik) yang ditolak oleh KPU Daerah. Dari pengumpulan data yang dilakukan, alasan KPU Daerah menolak calon perseorangan adalah dukungan dalam bentuk hardcopy tidak sama dengan softcopy.
“Disebabkan dukungan softcopy kurang. Padahal hardcopy memenuhi syarat, KPU Daerah langsung menolak. Padahal salah satu prinsip penyelenggara pemilu yang diatur di dalam Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah Penyelenggara Pemilu harus melayani masyarakat dan peserta pemilihan secara maksimal. Artinya, jangan karena kurang sofcopy, padahal hardcopy memenuhi syarat, langsung ditolak oleh KPU Daerah,” tegas dia.
Frans meminta KPU RI memberi perhatian serius terkait keberadaan calon perseorangan di daerah. KPU tidak boleh lupa bahwa calon perseorangan lahir dari putusan Mahkamah Konstitusi yang hak konstitusionalnya sama dengan calon dari partai politik.
(Delly.M)