Gatot Nurmantyo

“Masalah 65 tidak perlu di ungkap. Karena situasinya berbeda. Suasana perang ideologis”

Jakarta, Metropol – Indonesia telah mengalami tiga priode zaman. Zaman orde lama, orde baru dan zaman reformasi. Indonesia juga telah mengalami tragedi berdarah dalam merebut kemerdekaan. Zaman melawan penjajah Belanda. Zaman melawan bangsa Jepang dan kemudian Belanda datang untuk merebut negeri pertiwi ini. Lalu, Indonesia kembali mengalami perang saudara dengan timbulnya paham komunis yang merusak bangsa ini.

Tragedi yang menyudutkan Indonesia dalam sejarah kelam ini, seperti peristiwa G 30 S PKI, yang dianggap sebuah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) telah menuai kritikan dan penyadaran diri sebagai bangsa yang terjadi di masa dulu. Kini dimunculkan kembali, dengan alasan, bahwa Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM, sehingga Indonesia perlu melakukan klarifikasi dalam bentuk permintaan maaf atas tragedi yang menimpa mereka.

Dasar tersebut, pihak Pemerintah sekarang ini, telah melakukan langkah untuk kearah tersebut. Yang akan dilakukan saat menyampaikan pidato kenegaraan pada bulan Agustus. Isu Permintaan maaf secara tertulis dari pemerintah kepada korban pelanggaran HAM G 30 S PKI dan HAM Papua, telah di bantah oleh Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo, bahwa hal itu tidak benar.

Baca Juga:  Panglima TNI Tandatangani MoU Pengamanan dan Pengawasan Kekayaan Negara

“Pada semester pertama atau enam bulan pertama, baru selesai pada tanggal 30 Juni dan selesai di evakuasi bagaimana perkembangan kinerja Pemerintah. Hasil itu semua menjadi bahan pertanggung jawaban pidato Presiden dan di konsep. Tapi isinya sudah beredar.

Menurut Gatot, ada dua opsi pembentukan opini yang memang menekan Presiden untuk menyampaikan ini. Atau mengadu domba membuat kesan sebagaimana isu yang beredar.

“jadi saya berharap kepada Pamen (Perwira Menengah), dalam menerima isu tersebut, harus kritis dan dapat menanggapinya dengan sikap arif, terutama dalam menjelaskan kepada pihak lain,” ujarnya saat memberikan pengarahan kepada Perwira tinggi dan menengah Mabesad di aula AH Nasution Mabesad, pekan lalu.

Gatot beralasan, bahwa teks pidato kenegaraan sampai saat ini belum di susun. Penyusunan pidato kenegaraan dilakukan sebuah tim, bukan perorangan, serta di bawah koordinasi kepada staf kepresidenan.

“Penyusun pidato kenegaraan bisa memuat hal-hal yang baru, berkaitan dengan perkembangan lingkungan Nasional, maupun Internasional,” ujarnya.

Isu merebak teks pidato presiden kepermukaan, yang intinya permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM tersebut, ditanggapi dengan sinis oleh Binsar Effendi angkatan 66, berharap adanya penjelasan Presiden Jokowi, agar segala sesuatunya tidak lagi menjadi bahan perbincangan di ranah publik yang sungguh-sungguh akan menyakitkan TNI-AD, Umat Islam dan angkatan 1966.

Baca Juga:  Bersama Tiga Pilar, Koramil 0808 01 Sukorejo Melaksanakan PAM Pleno Rekapitulasi Penghitungan Suara

Tanggapan juga dilontarkan oleh KH Salahuddin, pengasuh pondok pesantren Tebuireng, beberapa waktu yang lalu. Bahwa Presiden tidak menambah masalah dengan melakukan hal yang tidak perlu, masih banyak masalah lain yang mendesak untuk diselesaikan oleh Pemerintah.

Ditempat yang lain, ketua umum Ansor, Nusron Wahid, berpandangan, bahwa masalah 65 tidak perlu di ungkap. Karena situasinya berbeda. Suasana perang ideologis.

“Ada PKI yang mati. Ada juga kiai yang mati. Sam-sama. Sehingga rekonsilisasi sebaiknya dibiarkan berlangsung secara alami dan berbudaya,” kata Binsar Effendi, mengutip pernyataan Nusron.

Diketahui pada TAP MPRS no: XXV/1966 adalah ketetapan tentang pembubaran PKI. Pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia dan larangan kegiatan untuk menyebarkan atau mengambangkan faham ajaran Komunis, Marxisme dan Lenminisme.

“Dengan segala hormat, menyampaikan agar diurungkan saja teks pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2015 di DPR, terkait Permintaan Maaf,” kata Binsar.

(Kamal)

KOMENTAR
Share berita ini :