Jakarta, Metropol – Setelah Jenderal Polisi Sutarman tidak aktif ditubuh Polri pengambilalihan pimpinan Kapolri langsung dipegang oleh Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti.
Dalam waktu singkat, pucuk pimpinan Polri yang diberikan kepada Badrodin Haiti, ditubuh Polri mengalami stagnasi. Sebagai diketahui, dengan tiba-tiba perselisihan Polri dan KPK muncul dipermukaan, lantaran KPK memunculkan kembali persoalan “Rekening Gendut” Polri yang dialamatkan kepada calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan, sehingga Polri melakukan timbal balik pengusutan hukum kepada Wakil Pimpinan KPK, Bambang Widjojanto mengenai kehadiran saksi-saksi palsu. Yang akhirnya Bambang Widjojanto (BW) ditangkap Bareskrim Mabes Polri
Namun dalam penangkapan BW, Pelaksana Tugas Polri Komjen Pol Badrodin Haiti, mengungkapkan tidak tahu menahu masalah penangkapan itu. “Saya tidak tahu. Lalu saya tanya ke Kabareskrim Irjen Pol Budi Waseso, juga tidak tahu,” ungkap Badrodin, Selasa (27/1/2015).
Kendati BW ditangkap di hari Jumat, yang akhirnya menimbulkan gelombang anti-Polri di gedung KPK, Badrodin mengaku sudah tahu adanya perkara yang membelit BW, karena dia telah dilapori sebelumnya.
“Jadi ada masalah komando di saat menangkap meskipun secara hukum tidak masalah. Memang secara etika seharusnya saya diberi tahu. Secara komando tidak boleh seperti itu. Pak Kabareskrim harusnya mengendalikan semua aktivitas di Bareskrim,” kata Badrodin.
Diketahui jika penangkapan itu dilakukan oleh para Kombes termasuk Kasubdit VI Pidsus Kombes Daniel Bolly Hyronimus Tifaona yang bergerak “tanpa komando” itu.
“Tapi saya tentu harus bertanggung jawab. Malam itu siapa yang melepaskan (BW)? Saya kan? Itu karena saya harus ikut bertanggung jawab, karena ini proses hukum oleh institusi Polri,” tegasnya.
Polisi saat ini tengah melakukan cooling down dengan tidak melakukan aktivitas apa pun terkait kasus ini dan kasus-kasus yang terkait KPK lainnya yang dilaporkan ke Bareskrim.
Seorang penyidik yang menangani kasus BW mengakui jika hari Jumat itu saat melakukan penangkapan BW, karena “terlalu bersemangat membela institusi.”
“Kita akui rasa pembelaan pada institusi itu ada. Tapi kasus hukum dalam perkara ini tidak kami buat-buat. Kami juga sedang mendalami informasi adanya ’86’ (damai karena suap) di beberapa kasus-kasus yang ditangani KPK,” ungkapnya lagi.
Ketika ditanya, apakah kasus BW yang ditangani Polri, akan direkomendasikan tim khusus yang dibentuk Presiden RI Joko Widodo, di SP3 seperti rekomendasi tim delapan dimasa kasus Bibit – Chandra.
“Saya tidak bisa berspekulasi. Timnya seperti apa bentuknya. Apa tugasnya. Yang penting saat ini, saya perintahkan untuk mendinginkan suasana,” kata Badrodin Haiti, mantan Kapolda Sumatera Utara ini.
Seperti diberitakan, tim khusus ini yang terdiri dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie (Mantan), mantan Wakil Kepala Kepolisian RI, Komjen Pol (Pur) Oegroseno, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwono, pengamat kepolisian Kombes Pol (Purn) Bambang Widodo Umar, mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Pangabean, Erry Riyana Hardja Pamekas serta mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif, mantan Kapolri dan Kepala BIN Jenderal Polisi (Purn) Sutanto serta Imam Prasodjo, Sosiolog UI.
Sebagaimana diketahui, kekisruhan KPK versus Polri, yang disebabkan awalnya dari calon Kapolri Budi Gunawan (BG) yang disanggakan KPK, menerima dana gratifikasi dan suap membuat Polri mengambil langkah pembelaan institusi Polri dengan mengungkap kasus Bambang Widjojanto (BW) Wakil Pimpinan KPK, dengan tuduhan menghadirkan saksi palsu saat sengketa pilkada Kota Waringin Barat (Kobar) di MK (BW sebagai pengacara). Sehingga BW dijerat pasal 242 juncto pasal 55 KUHp ancaman hukuman pidana tujuh tahun penjara.
Sedangkan kasus BG yang terus ditelusuri KPK, tidak bisa terlaksana, dikarenakan pihak-pihak saksi tidak bersedia hadir. Sehingga Wakapolri. Pelaksana tugas Kapolri Komjen Pol Badrodin Haiti angkat bicara dan memerintahkan agar anak buahnya pro aktif panggilan KPK.
“Terkait anggota Polri yang dipanggil sebagai saksi oleh KPK, Mabes Polri sudah memerintahkan para saksi untuk hadir memenuhi panggilan KPK,” kata Badrodin di Mabes Polri (Selasa, 27/1).
Diketahui saksi anggota Polri yang dipanggil KPK dan tidak datang itu adalah Dosen Utama STIK Lemdikpol Kombes Pol Ibnu Isticha, Wakil Kepala Kepolisian Resor Jombang Kompol Sumardji, dan Direktur Pidana Umum Bareskrim Brigjen Pol Herry Prastowo.
Ketiga saksi itu sebelumnya pernah dipanggil, namun tidak memenuhi panggilan untuk menjalani pemeriksaan.
Ibnu dan Herry pertama kali dipanggil pada 19 Januari sedangkan Sumardji dipanggil pada 20 Januari. Herry tidak datang dengan alasan sedang bertugas ke luar negeri saat pemanggilan pertama.
Dalam perkara ini, KPK sudah mencegah empat orang pergi ke luar negeri yakni Budi, anaknya, Muhammad Herviano Widyatama, mantan asisten Budi Bripka Iie Tiara, dan mantan pengajar Widyaiswara Utama Sespim Lemdikpol Irjen Pol (pur) Syahtria Sitepu sejak 14 Januari 2015.
Syahtria diduga pernah 13 kali mentransfer dana dengan nilai total sebesar Rp 1,5 miliar ketika menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Sumatera Utara pada Agustus 2004-Maret 2006.
Hervianto, saat berusia 19 tahun pada 2005, mendapat pinjaman dari PT Pasific Blue senilai US$ 5,9 miliar dan diberikan dalam bentuk tunai sejumlah Rp 57 miliar. Dari jumlah tersebut sebanyak Rp 32 miliar disetor ke rekening Budi. Proses pinjam-meminjam ini sudah diperiksa Bareskrim Mabes Polri pada 2010 dan dinyatakan wajar. (Delly M)