Presiden KSPI Said Iqbal saat audiensi dengan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fahmi Idris terkait buruh yang ter-PHK namun belum ada putusan inkrah, sudah tidak dilayani BPJS Kesehatan.
Jakarta, Metropol – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, Direktur utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fahmi Idris merespon positif usulan dan kritik buruh.
Dalam siaran persnya kepada Kantor Redaksi Metropol, Kamis (3/8) Said Iqbal mengatakan, aksi protes buruh dipicu oleh karena adanya ribuan buruh yang ter-PHK namun belum ada putusan inkrah, sudah tidak dilayani BPJS Kesehatan.
Oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyampaikan protes keras terkait dengan tidak dijalankannya ketentuan mengenai pekerja/buruh yang tidak dilayani lagi begitu di PHK.
Padahal, menurut Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), 6 bulan pasca PHK, buruh seharusnya masih berhak mendapat manfaat jaminan kesehatan.
“Kami ingin, sepanjang PHK belum inkrah, buruh harus tetap mendapat pelayanan BPJS Kesehatan. Jika karena buruh mau membayar 1% iuran BPJS dalam proses PHK, buruh mau bayar kemana? Kan bukan peserta mandiri. Pengusaha juga tidak mau membayarkan iuran BPJS buruh selama proses PHK. Malahan, kalau merujuk pada peraturan, 6 bulan pasca PHK pun buruh masih menerima manfaat BPJS Kesehatan,” tegas Said Iqbal.
Oleh karena itu, KSPI meminta BPJS Kesehatan menekan pengusaha untuk tetap membayarkan iuran BPJS Kesehatan buruh selama proses PHK yang belum inkrah.
“Karena 5% iuran itu melekat kepada buruh, dan menjadi tanggungjawab perusahaan untuk mengiur BPJS buruhnya,” lanjutnya. Lebih lanjut Said Iqbal meminta Kesehatan jangan sampai mengabaikan tugasnya untuk menagih iuran perusahaan.
Tidak diterimanya buruh oleh pelayanan kesehatan semasa mereka ter-PHK sangat memberatkan, disamping kehilangan penghasilan, ketika mereka sakit, mereka tidak punya uang.
Hal lain, Said Iqbal menyampaikan jika saat ini terjadi penurunan pelayanan bagi buruh dalam hal akses fasilitas kesehatan. Oleh karena itu perlu ada terobosan dalam COB. Perluasan kuantitas COB di daerah-daerah Indonesia perlu diperbanyak, sehingga akses kesehatan masyarakat mudah. Syarat klinik untuk menjadi mitra BPJS perlu dipermudah dengn tetap memerhatikan aspek kualitas pelayanan kesehatan.
Dalam kesempatan ini, KSPI juga menegaskan tidak setuju dengan sistem INACbgs.
“Kami sudah diskusi dengan IDI dan RS Swasta. Dalam diskusi tersebut ditemukan wacana dampak buruk bagi buruh. Kalau RS Pemerintah mereka dapat subsidi obat dan alat kesehatan,, sedangkan swasta tidak. Ini berdampak pada kemampuan usaha RS swasta yang tentu buruh pun akan terkena dampaknya. Contoh, RS Islam Cempaka Putih upah dibatasi, outsourcing dibatasi, upah tidak UMSP, PHK, dll. Kami bersama IDI akan mendiskusikan mengenai INACBGS,” tegas pria yang menjadi Governing Body ILO ini.
Menanggapi apa yang disampaikan Said Iqbal, Fahmi Idris mengapresiasi KSPI. Menurutnya, KSPI adalah motor utama pendorong implementasi UU SJSN berupa UU BPJS melalui Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS).
Mengenai manfaat jaminan kesehatan bagi peserta yang di PHK, Fahmi menjanjikan akan diadakan FGD antara BPJS Kesehatan, KSPI, dan BPK.
Sementara terkait COB, BPJS Kesehatan sangat terbuka bekerjasama dengan klinik. Kalau soal syarat, kita terikat pada indikator mutu.
“Namun kami selalu menyampaikan kepada klinik perusahaan untuk menyertakan surat izin dalam bekerjasama. Nanti kita akan pelajari lagi. Kalau syarat kredensial kita ikut pemerintah,” kata Fahmi.
Hasil dari audiensi ini akan ditindaklanjuti dengan membentuk 2 Focus Group Discussion (FGD). FGD pertama akan membahas mengenai manfaat selama proses PHK dan 6 bulan pasca PHK. FGD ke 1 akan melibatkan BPK. FGD kedua akan membahas mengenai COB dan INACBGS yang akan melibatkan IDI. Kedua hasil FGD akan menjadi rekomendasi yang akan ditindaklanjuti oleh KSPI dan BPJS Kesehatan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
(Barly)