Penulis : Rahman Efendi | Editor : Widi Dwiyanto
BENER MERIAH, NEWSMETROPOL.id – Setelah Para Tergugat yaitu PT Brantas Abipraya CS., BPN Aceh Tengah, BPN Wilayah Aceh, Pemerintah Daerah (Pemda) Bener Meriah, Pemda Aceh dan Pemerintah Pusat, BWS Sumatera 1, Kementerian ATR/BPN, Kementerian PUPR serta jajaran terkait tidak memberikan jawaban resume dari Samsul Bahri, Tgk. Jafaruddin dan Umar selaku Para Penggugat dalam acara mediasi pada perkara nomor 11/Pdt.G/2023/PN Str., adalah membuktikan Para Tergugat tidak beritikad baik, kini Pengadilan Negeri (PN) Simpang Tiga Redelong memutuskan pada putusan sela menyatakan tidak berwenang mengadili perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pada perkara tersebut, Kamis (14/03/2024).
Samsul Bahri selaku Penggugat dan juga sebagai Kepala Dusun pada wilayah pembebasan lahan di Desa/Kampung Simpur, Kecamatan Mesidah, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh mengatakan, bahwa hasil putusan tersebut sudah diperkirakannya sejak awal sehingga membuktikan keadilan sudah mati untuk rakyat kecil.
“Putusan MK tentang calon Presiden dan Wakil Presiden saja bisa terjadi, apalagi putusan perkara seperti ini. Tunggu hukum tuhan saja yang akan mengadili,” singgung Samsul.
Samsul mengungkapkan, dari hasil keterangan dalam persidangan bahwa pemerintah menyatakan tidak ada pemberian ganti kerugian kepada masyarakat penggarap tanah negara di Desa Simpur Kecamatan Mesidah dan Desa Pasir Putih Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Bener Meriah yang sudah dikuasai dan dimanfaatkan sejak tahun 2004 atas dasar hasil Keputusan Forkopimda pada Rapat Penyelesaian Pengadaan Tanah Bendungan Keureuto Wilayah Genangan Bener Meriah pada tanggal 16 Mei 2023 di Hotel Al Fatah Bener Meriah menyatakan bahwa; “terhadap 104 bidang tanah dengan luas 199,08 Ha yang terletak di Kampung Simpur Kecamatan Mesidah dan Kampung Pasir Putih Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Bener Meriah baik tanah maupun tegakan/tumbuhan diatasnya disepakati tidak ada ganti kerugian”.
Menurut Samsul bahwa keputusan Forkopimda tersebut telah merugikan masyarakat penggarap tanah negara yang telah beritikad baik dengan melakukan pemanfaatan dan telah memiliki surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah serta bukti pembayaran pajak sehingga keputusan yang tidak memberikan ganti kerugian pada pengadaan tanah pembangunan Bendungan Keureuto di Kabupaten Bener Meriah telah bertentangan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 dan 4 Jo. Pasal 18 ayat (2) huruf f dan Pasal 24 Jo. Pasal 68 ayat (1) PP Pengadaan Tanah No.19/2021.
Bahwa pada PP Pengadaan Tanah No.19/2021 Pasal 1 angka 2 menyebutkan, pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil, dan pada angka 4 menyebutkan, bahwa Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah.
“Artinya pada pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dengan memberikan ganti kerugian kepada pihak yang menguasai tanah dimana masyarakat penggarap di Kampung Simpur dan Kampung Pasir Putih adalah pihak yang menguasai tanah tersebut,” jelasnya.
Kemudian, kata Samsul, pada Pasal 18 ayat (2) huruf f disebutkan, bahwa Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari ; a. Pemegang Hak Atas Tanah; b. Pemegang Hak Pengelolaan; c. nazhir untuk tanah wakaf; d. pemegang alat bukti tertulis hak lama; e. masyarakat hukum adat; f. pihak yang menguasai Tanah Negara dengan iktikad baik; g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau; h. pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
“Maka telah jelas secara terang bahwa masyarakat penggarap di Kampung Simpur dan Kampung Pasir Putih adalah pihak yang menguasai Tanah Negara dengan itikad baik sebagai Pihak yang Berhak karenanya berhak mendapatkan ganti kerugian,” terangnya.
Lalu, pada Pasal 24 disebutkan, bahwa penguasaan Tanah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan alat bukti, berupa : a. sertifikat Hak Atas Tanah yang telah berakhir jangka waktu haknya sepanjang masih dipergunakan dan dimanfaatkan oleh bekas pemegang haknya; b. surat izin garapan/membuka tanah; c. surat penunjukan/pembelian kavling tanah pengganti; atau d. bukti lain yang dipersamakan dengan bukti penguasaan lainnya;
Pada penjelasan huruf d tersebut menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘bukti lain yang dipersamakan dengan bukti penguasaan lainnya’ adalah dokumen-dokumen yang menunjukan itikad baik kepemilikan tanah tersebut, misalnya surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah atau bukti pembayaran pajak”.
“Masyarakat penggarap di Kampung Simpur dan Kampung Pasir Putih telah memiliki surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah dan memiliki bukti pembayaran pajak sehingga membuktikan kepemilikan atas penguasaan tanah tersebut,” kata Samsul.
Selanjutnya pada Pasal 68 ayat (1) Penilai bertugas melakukan penilaian besarnya Ganti Kerugian bidang per bidang tanah, meliputi ; a. tanah; b. Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah; c. bangunan; d. tanaman; e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. kerugian lain yang dapat dinilai.
“Artinya bidang per bidang Tanah Negara memiliki nilai atas suatu kerugian terhadap penggarapnya yang akan kehilangan tanah tersebut,” terang Samsul.
Samsul menegaskan, bahwa pihaknya bersama masyarakat akan terus berjuang untuk menuntut keadilan.
“Karena pengadilan sudah tidak dapat kami percaya maka kami akan mencari kebenaran itu sendiri dari publik dengan membuat sebuah petisi untuk mengetahui pendapat publik terkait kebenaran terhadap masyarakat penggarap tanah negara di Desa Simpur dan Desa Pasir Putih apakah benar tidak memiliki hak atas tanah tersebut sehingga tanahnya dapat dirusak begitu saja oleh pemerintah dipergunakan untuk kepentingan pembangunan Bendungan Keureuto, meski masyarakat telah memiliki surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah dan memiliki bukti pembayaran pajak sebagai bukti itikad baik sebagaimana ketentuan dan peraturan,” pungkasnya.