Ilustrasi Jet Tempur milik TNI AU (Dok. MP).
Jakarta, Metropol – TNI Angkatan Udara menegaskan, pihaknya akan melakukan “Force Down” terhadap pesawat yang melanggar kedaulatan wilayah NKRI.
“Sudah saatnya kita memikirkan adanya proses hukum yang berkelanjutan kepada para pelanggar wilayah kedaulatan udara. Tidak saja untuk memberi efek jera, tetapi sekaligus untuk menjamin harkat dan martabat negara tetap terjaga” demikian release resmi Dinas Penerangan TNI AU, pada Sabtu (26/5).
Dikatakan bahwa, tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan wilayah udara yurisdiksi nasional yang di emban TNI AU seperti yang diamanatkan oleh UU 34 tahun 2004 tentang TNI, memang bukan pekerjaan mudah.
Luasnya wilayah udara nasional, serta masih terbatasnya sarana dan prasarana yang ada, membuat TNI AU harus terus bekerja keras. Kendala tersebut tentunya bukan menjadi alasan untuk tidak berbuat, artinya TNI AU tetap harus terus berupaya melaksanakan tugasnya (menegakkan kedaulatan wilayah udara dan hukum dirgantara red) seoptimal mungkin.
Pelaksanaan tugas tersebut hakikatnya merupakan implementasi dari amanat masyarakat dunia yang tertuang dalam konvensi Chichago 1944 tentang Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan untuk regulasi Indonesia tertuang dalam UU nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan. Dalam UU tersebut, Indonesia menganut prinsip kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah ruang udara di atas Indonesia.
Artinya, Indonesia mempunyai hak penuh untuk menggunakan ruang udaranya bagi kepentingan pertahanan dan keamanan nasional guna menjamin terciptanya kondisi wilayah udara yang aman, bebas dari berbagai ancaman melalui media udara, termasuk navigasi penerbangan yang dapat membahayakan kedaulatan negara serta melemahkan kewibawaan pemerintah.
Peristiwa penahanan pesawat asing sipil di bandara Mopah Merauke pada pertengahan Mei 2017 lalu dan penahanan pesawat sipil asing di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta pada Maret 2017 lalu, menunjukkan masih tingginya pelanggaran wilayah udara nasional.
Seperti diberitakan media, TNI AU dan pihak-pihak terkait (Imigrasi dan Otoritas Bandara) Merauke, Papua telah menahan pesawat sipil asing dengan nomor registrasi D-EBIW. Pesawat diawaki dua crew berkebangsaan Australia, yaitu Polzer Helmut Gunter dan Urlacher Jean Marie. Pesawat jenis Cessna T206H dengan rute Darwin-Rozks-Sidney-Whibsaund – Horn Island – Merauke – Timika – Kaimana – Manado – Tambler – Filipina –Manila – Jepang – Rusia dan USA ini, terpaksa ditahan karena tidak memiliki izin melintas (flight clearence).
Sebelumnya, pada pertengahan Maret 2017, Lanud Halim Perdanakusuma dan pihak-pihk terkait, juga menahan sebuah pesawat sipil asing jenis Cessna C-208B dengan registrasi VH-ZKA yang dipiloti oleh Captain Mark Herradence dan Hamilton Grant Dowson (berkebangsaan Australia) karena pesawat yang diterbangkannya menyimpang dari rute yang seharusnya (tidak sesuai flight clearance).
Mencermati masih adanya pelanggaran wilayah udara, baik yang diawali dengan kegiatan force down (pemaksaan mendarat) oleh pesawat-pesawat buru sergap TNI AU di wilayah udara yurisdiksi nasional maupun tanpa force down, menunjukkan betapa kedaulatan ruang udara nasional sebenarnya tidaklah penuh dan eksklusif.
Terlepas dari permasalahan tersebut, yang jelas, tindakan force down oleh TNI AU, menjadi bukti kalau jajaran TNI AU tidak pernah tinggal diam dalam merespon para pelanggar wilayah kedaulatan udara nasional. Sebagai bagian dari tindakan hukum, force down oleh pesawat-pesawat buru sergap TNI AU kepada pelanggar kedaulatan udara nasional, merupakan bentuk konkret TNI AU dalam menjaga harkat dan wibawa negara.
Belum Memberi Efek Jera
Masyarakat, baik nasional maupun internasional memberikan apresiasi positif terhadap tindakan force down TNI AU terhadap pesawat asing yang tidak terjadwal di wilayah yurisdiksi nasional. Namun disisi lain tidak sedikit masyarakat yang menyayangkan proses hukum yang dilakukan, kurang memberikan efek jera para pelanggar wilayah kedaulatan udara Indonesia.
Sebagai ilustrasi, dalam sebuah “penangkapan” terhadap pesawat asing yang melakukan pelanggaran kedaulatan wilayah udara, hanya di kenai sanksi membayar biaya take off landing sebesar Rp 60 juta. Sebuah nilai yang tidak sepadan dengan biaya operasional yang dikeluarkan TNI AU untuk menggerakan pesawat buru sergap melakukan force down. Demikian juga, yang terkait dengan penahanan kurungan, para pelanggar juga belum dikenakan sanksi yang dapat memberi efek. .
Usut punya usut, ternyata permasalahannya terletak pada regulasi kita, dimana aturan pelaksanaan tugas penegakkan hukum di wilayah udara yurisdiksi nasional yang diamanakan pasal 10 UU 34 tahun 2004, belum secara eksplisit bicara sanksi hukuman.
Demikian juga regulasi lainya, yaitu UU nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan, juga tidak disinggung tentang tindakan pidana yang terkait kedaulatan negara, yang diatur baru sebatas terkait prohibited dan restricted area. Artinya pelanggaran hanya dimaknai sebagai melanggar perijinan masuk wilayah udara saja (pelanggaran administrasi), bukan pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan negara.
Ketentuan ini berdampak pada proses hukum selanjutnya kurang tuntas, lebih dari itu, TNI AU yang nota bene memiliki kapabilitas terhadap masalah-masalah penegakkan kedaulatan di udara, belum dilibatkan dalam proses penyidikan. Sebaliknya proses hukum atas pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing maupun pesawat domestik tidak terjadwal, dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang pelaksanaannya dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri dan dianggap sebagai persoalan kriminal biasa.
Bila dilihat kembali tentang ruang lingkup tugas TNI AU dalam penegakkan hukum dan menjaga keamanan wilayah udara yurisdiksi nasional, idealnya TNI AU ikut hadir, baik dalam proses penindakan maupun hukum, yang meliputi pengejaran, penyelidikan dan penyidikan, karena pelanggaran wilayah udara berbeda dengan kriminal biasa, dimana dapat berdampak pada aspek pertahanan dan kedaulatan negara atau bahkan bisa diartikan merongrong kewibawaan pemeritah, bukan gangguan orang per-orang.
Belajar dari proses penegakkan hukum terhadap pelanggaran udara yang sudah berjalan selama ini, sudah saatnya –meskipun terlambat–, kita dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masalah pertahanan, kedaulatan dan keamanan bangsa dan negara, memikirkan kembali perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap semua regulasi yang terkait dengan pelaksanaan penegakkan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara yurisdiksi nasional, baik tingkat undang-undang maupun peraturan pemerintah. Pemahaman ini penting dalam rangka menjaga kedaulatan udara nasional khususnya dan harkat negara pada umumnya.
(M. Daksan/Dispenau)