
Presiden KSPI Said Iqbal. (Foto: Istmw).
Jakarta, Metropol – Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan 14 paket kebijakan Pemerintahan Jokowi – JK tidak efektif untuk membendung PHK besar-besaran terhadap buruh. Menurut Said Iqbal, hal tersebut menunjukkan kegagalan dan tidak efektifnya paket kebijakan ekonomi pemerintah.
“Kebijakan paket ekonomi tersebut hanya kuat dalam konsep di atas kertas, tetapi lemah dalam implementasi dan pengawasan. Akibatnya bagi buruh, justru terjadi PHK besar-besaran dalam 3 gelombang,” tegas Presiden KSPI Said Iqbal dalam siaran persnya yang diterima Kantor Redaksi Metropol, Rabu (12/7).
Gelombang pertama, kata Said Iqbal, terjadi pada akhir tahun 2015 yang menimpa buruh sektor tekstil dan garmen sehingga puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan.
Lanjutnya, gelombang kedua terjadi pada kurun waktu Januari hingga April 2016, berdampak terhadap industri elektroinik dan otomotif.
“Di industri elektronik, PHK terjadi di PT Tosiha, PT Panasonik, PT Philips, PT Shamoin, PT DMC dan PT. Ohsung. Pengurangan kayawan di industri otomotif terjadi pada industri sepeda motor dan roda empat serta turunannya, seperti PT Yamaha, PT Astra Honda Motor, PT Hino, PT AWP, PT Aishin,PT Mushashi, PT Sunstar,” beber Said Iqbal.
Dia juga menuturkan, pada tahun lalu, industri pertambangan dan perminyakan serta farmasi juga melaporkan adanya PHK besar-besaran.
“Kasus yang mencuat adalah PHK yang terjadi di PT Freeport Indonesia dan PT Smelting,” imbuhnya.
Kemudian Said Iqbal menjelaskan, saat ini gelombang ketiga PHK terjadi di sektor ritel. Hal ini seiring dengan laporan pengusaha yang mengatakan sepinya penjualan.
“Sekarang seudah di depan mata ancaman PHK di industri ritel, seperti penutupan 7-Eleven,” kata Said Iqbal.
Tidak hanya itu, Said Iqbal memprediksi PHK akan terjad di Hypermart, Ramayana, Hero, Giant, Tiptop, dan beberapa industri yang lainnya dengan cara menututp beberapa gerai di satu daerah tapi dipindahkan ke daerah lain hanya dibentuk satu gerai.
Dia menegaskan, adanya PHK gelombang satu hingga tiga mengakibatkan daya beli menurun ditambah lagi upah murah bagi buruh Indonesia setelah diterapkannya PP 79/2015.
“Paket kebijakan ekonomi tidak bisa mengangkat daya beli, tetapi hanya membuka ruang kemudahan untuk berinvestasi. Tidak diiringi dengan kebijakan peningkatan daya beli. Maka yang terjadi adalah penurunan konsumsi, itulah yang menyebankan terjadinya PHK besar-besaran pada sektor ritel,” jelas Said Iqbal.
Dia menambahkan kebijakan upah murah pemerintah melalui PP No 78/2015 tentang pengupahan tidak dapat membantu buruh karena faktanya semua harga barang meningkat, ongkos transportasi tetap mahal, sewa rumah mahal dan biaya listrik melonjak sehingga berakibat pada rendahnya daya beli masyarakat.
“Mengapa terjadi pada ritel? Karena, industri ritel berkaitan dengan jumlah besar orang yang membeli untuk konsumsi,” bebernya.
Dia juga membeberkan bahwa 7-Eleven tutup karena pembelinya masyarakat menengah bawah. Kalau menengah atas di Starbuck.
“Begitu pula pula Hypermart, untuk menengah bawah, karena yang atas di SOGO. Ketika daya beli turun, mereka tidak bisa lagi beli di sana,” papar Said Iqbal.
Penyebab lain kata dia, adalah regulasi pemerintah yang tidak tepat sasaran. Misalnya, regulasi untuk 7-Eleven hanya diperbolehkan membuka outlet di Jakarta. Sementara tidak ada insentif untuk dunia usaha di bidang ini.
Selain ritel, gelombang PHK juga mengancam Industri keramik. Harga gas industri keramik yang mahal menyebabkan tidak bisa bersaing dengan keramik Cina. Pertambangan juga berdampak, seperti yang terjadi pada PT Freeport Indonesia dan PT Smelting.
Bahkan, terjadi PHK di sektor garmen. Modusnya adalah pemutihan. Yaitu pekerja di PHK dengan pesangon kecil, kemudian ditawari kerja baru sebagai keryawan outsourcing dan kontrak.
“Situasi ini sudah berlangsung dalam beberpa bulan ini dan berdampak pada puluhan ribu buruh,” beber Said Iqbal lagi.
Oleh karena itu, KSPI menuntut kepada Pemerintah segera mengambil langkah-langkah mengentikan PHK besar-besaran di industri ritel, keramik, pertambangan, dan pemutihan di sektor tekstil dan garmen.
“Cara kedua adalah meningkatkan daya beli masyarakat dengan mencabut PP 78/2015 yang membatasi kenaikan upah minimum dan memberikan perlindungan terhadap industri ritel, keramik serta garmen, dari kebangkrutan,” pungkasnya.
(Barly)