Solidaritas Perempuan Sumbawa saat aksi menuntut keseriusan Negara memberikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak bagi perempuan buruh, pada Selasa (1/5).
Sumbawa, NewsMetropol – Memperingati Hari Buruh Internasional, Solidaritas Perempuan Sumbawa menyampaikan sejumlah tuntutan.
Sebagai organisasi yang turut memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi kaum buruh khususnya perempuan buruh migran, Solidaritas Perempuan Sumbawa menuntut keseriusan Negara memberikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak bagi perempuan buruh, Sumbawa, Selasa (1/5).
SP Sumbawa menilai, Negara secara sistematis, melakukan pengabaian terhadap perlindungan dan pemenuhan hak perempuan buruh migran, terutama pekerja domestik dengan menyerahkan tanggungjawab perlindungan kepada swasta.
Akibatnya, perempuan buruh migrant memiliki kerentanan tinggi terhadap tindak kekerasan, pelanggaran hak, termasuk menjadi korban perdagangan manusia.
Kasus-kasus pelanggaran hak terkait ketenagakerjaan seringkali disertai dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi hingga berujung hukuman penjara bertahun-tahun.
Beban kerja berlebih, jam kerja yang panjang, upah tidak dibayar, penganiayaan, kekerasan seksual, dipindah-pindah majikan, menjadi jenis kasus yang paling sering ditangani setiap tahunnya.
Dampak lain dari pengabaian Negara terhadap perlindungan dan pemenuhan hak perempuan buruh migrant juga terbukti dari banyaknya kasus-kasus yang tidak dapat terselesaikan dan sulit untuk mengakses keadilan.
Sejak tahun 2008 hingga saat ini, SP Sumbawa telah menangani beberapa kasus pelanggaran hak pada perempuan buruh migrant. SP Sumbawa mendampingi kasus Sumartini yang diancam hukuman pancung dan hukum cambuk sebanyak 1000 kali karena tuduhan sihir dari majikan. Selama proses pemeriksan dikepolisian Arab Sumartini mendapatkan intimidasi dan ancaman dari majikan.
Namun kemudian dari hasil banding dengan pemerintah Arab Saudi Sumartini mendapatkan vonis hukuman penjara selama 10 tahun (potong masa tahanan 3 tahun) di Riyadh, meskipun hingga hari ini tidak ada bukti yang kuat terkait tuduhan sihir yang di berikan kepada Sumartini.
“Harapan saya agar Sumartini dapat dibebaskan dan dipulangkan secepatnya karena masa tahanannya sudah selesai” ujar Pak Icung yang merupakan saudara dari Sumartini.
SP Sumbawa bersama keluarga sudah melakukan advokasi terhadap kasus ini sejak tahun 2011 melalui berbagai instansi pemerintah dan dialog dengan legislatif.
Namun hingga melebihi waktu yang diputuskan pengadilan, keluarga masih belum mendapat informasi resmi dari pemerintah mengenai status hukum Sumartini.
Alih-alih meningkatkan kualitas perlindungan bagi perempuan buruh migran, Negara justru memberlakukan kebijakan yang semakin memiskinkan perempuan melalui Kepmenaker No. 260/2015.
Kebijakan pelarangan bekerja ke Negara-negara timur tengah ini berlaku untuk pekerja domestik, dimana mayoritas dilakoni oleh perempuan. Kebijakan ini tidak hanya mendiskriminasi perempuan buruh migrant pekerja domestic tetapi juga turut mendorong pada meningkatnya kasus-kasus perdagangan perempuan buruh migrant melalui pengiriman unprosedural.
Terbukti selama hampir 3 tahun kebijakan tersebut berlaku, yaitu 2015-2017, terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada angka kasus trafficking perempuan buruh migran yang ditangani SP Sumbawa.
Salah satunya yang dialami oleh Nora Komalasari asal Alas diberangkatkan melalui jalur formal dengan tujuan Abu Dhabi melalui PT. Falah Rima Hudaiti Bersaudara milik ibu Tuti yang merupakan istri dari salah satu anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Sumbawa. Namun ternyata mereka di tempatkan di Riyadh dan bekerja di sektor non formal sebagai pekerja rumah tangga. karena usianya baru 18 tahun maka pihak PT. Falah Rima Hudaiti Bersaudara membuat KTP palsu dengan NIK orang lain.
Selama bekerja di Riyadh Nora Komalasari berganti majikan hingga tiga kali selama kurun waktu delapan bulan. Selama bekerja ia mendapatkan kekerasan fisik yang dilakukan majikan, selain itu gaji tidak dibayar, dan tidak memiliki perjanjian kerja.
Saat ini Nora Komalasari sudah dipulangkan dari Riyadh dan sedang memperjuangkan keadilan untuk kasus trafficking yang dialaminya agar pelaku bisa diadili secara hukum.
Ini membuktikan bahwa Kepmenaker No. 260/2015 bukan merupakan kebijakan yang solutif dalam menyelesaikan kompleksitas persoalan yang ada namun justru menguatkan kerentanan perempuan buruh migrant terhadap praktik-praktik perbudakan dan perdagangan manusia.
Berbagai situasi persoalan yang hingga hari ini masih dihadapi oleh perempuan buruh di semua sector pekerjaan menunjukkan lemahnya keinginan politik Negara dalam mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan buruh.
Dari situasi tersebut kami Solidaritas Perempuan Sumbawa menuntut kepada Kepolisian Resort Sumbawa segera menindaklanjuti oknum kasus tindak pidana trafficking atas nama Nora Komalasari yang merupakan istri dari salah satu anggota DPRD Sumbawa di Komisi IV.
Disnakertrans Sumbawa segera memberi kejelasan status dari kasus kriminalisasi atas nama Sumartini kepada keluarga.
Pemerintah untuk mengakui, melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan buruh migran di Sumbawa.
(Amrin/Rls)