
Pekerja JICT saat melakukan aksi mogok kerja di area lobi kantor JICT.
Jakarta, Metropol – Pelabuhan Petikemas terbesar di Indonesia, Jakarta International Container Terminal (JICT) yang menangani hampir 70% ekspor impor Jabodetabek lumpuh total akibat mogok pekerja yang dimulai sejak pukul 07.00 WIB.
Dalam siaran persnya, Jumat (4/8) Sekretaris Jenderal SP JICT M. Firmansyah menyebutkan bahwa, 95% atau lebih dari 650 pekerja melakukan aksi mogok di area lobi kantor JICT.
Kata dia, aksi mogok didahului penutupan pelabuhan dan sweeping oleh Direksi JICT pada pukul 03.00 WIB dini hari tadi. Padahal pekerja mulai mogok pada pukul 07.00 WIB.
Lanjutnya, sempat terjadi aksi adu mulut karena Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok melarang karyawan melakukan absensi.
Padahal kata dia, karyawan yang mogok harus absen sesuai ketentuan Undang-Undang. Oleh karena itu Serikat Pekerja menyayangkan aksi menghalang-halangi yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan itu.
Bukan hanya pekerja, berapa wartawan pun sempat didata oleh Polres Pelabuhan Tanjung Priok dengan tujuan untuk kepentingan permintaan gambar.
Tak pelak, tindakan kedua institusi tersebut menimbulkan pertanyaan besar bagi Serikat Pekerja JICT
Sebagaimana diketahui, mogok kerja yang dilakukan oleh SP JICT karena dampak dari Perpanjangan Kontrak JICT yang menurut BPK melanggar aturan.
“Uang sewa ilegal perpanjangan kontrak JICT yang telah dibayarkan sejak tahun 2015 telah berdampak terhadap pengurangan hak pekerja sebesar 42%. Padahal pendapatan JICT meningkat 4,6% tahun 2016 dan biaya overhead termasuk bonus tantiem Direksi serta komisaris meningkat 18%,” jelas Firmansyah.
Menurut dia, pendapatan tahunan JICT sebesar Rp 3,5-4 triliun diduga menjadi incaran investor asing untuk memperpanjang JICT dan melakukan politisasi gaji pekerja.
Dia menuturkan, kerugian akibat mogok kerja JICT yang rencananya dilakukan mulai tanggal 3-10 Agustus 2017 mencapai ratusan milyar rupiah.
Namun, kesediaan Direksi yang mau mengganti rugi yang diakibatkan mogok kepada pengguna jasa JICT menimbulkan pertanyaan besar dari Serikat Pekerja JICT.
“Pertanyaannya kenapa Direksi lebih memilih mengambil langkah dengan resiko opportunity loss yang jauh lebih besar dibanding memenuhi hak pekerja sesuai aturan,” pungkas Firmansyah penuh tanya.
(Barly)