Pangkalpinang, Metropol – Persoalan sumber daya energi di Provinsi Kep. Bangka Belitung semakin berlarut-larut dan rumit seperti kumpulan soal ujian bagi para siswa yang tidak belajar. Karena,bila kita perbaiki dari sisi satunya maka akan timbul persoalan lain di sisi satunya lagi.
Di era 2005 yang lalu persoalan besar di negeri serumpun sebalai ini adalah masalah sumber daya atau ketersediaan jumlah daya yang sesuai dengan kebutuhan saat beban puncak di Bangka Belitung. Hari berganti tahun berlalu, kondisi di 2015 ini kelistrikan di Babel sama sekali tidak berubah. Malah semakin menurun secara kualitas. Walaupun harus diakui, adanya grafik menanjak secara kuantitas. Atau jumlah pelanggan. Dengan semangat otonomi daerah yang di usung oleh pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka sejak tahun 2011 telah dilakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di dua tempat berbeda di Babel.
Yang pertama adalah pembangkit listrik tenaga uap Air Sijuk di Kabupaten Belitung berkekuatan 11 MW. Dan diperkirakan akan selesai pada kuartal pertama tahun 2014 yang lalu. Namun pada prakteknya masih jauh panggang dari api. PLTU ini menelan biaya sebesar 236,9 M yang berasal dari APBN dan APBD setempat. Alokasi PLTU ini direncanakan akan mampu menyediakan daya maksimal saat beban puncak untuk 2 Kabupaten dan 3 Kecamatan penyangga. Untuk PLTU yang kedua adalah, PLTU Air Anyir yang berlokasi di dekat RSUP Malaria Provinsi. Di jalan lintas timur. Dan proyek ini menelan biaya sebesar 686 Milyar. Juga dibiayai dari uang negara alias APBN. PLTU ini berkekuatan sebesar 30 MW. Dan di asumsikan dapat menyediakan pasokan energi untuk 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya. Sementara itu Kepala kantor PLN wilayah Bangka Belitung, saat di konfirmasi oleh Metropol mengatakan, āmemang benar kita telah membangun 2 fasilitas PLTU yang terletak di dua tempat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Satu di Air Sijuk 11 MW dan kedua di Air Anyir 30 MW. Namun daya sebesar itu memang belum sepenuhnya berfungsi, terutama untuk yang Air Anyir, ini dikarenakan ada beberapa kendala teknis di lapangan,ā tandasnya.
Mengelola sebuah institusi negara seperti PLN sejatinya, membutuhkan ketajaman intuisi untuk menempatkan segala sesuatunya pada aturan yang berlaku. Artinya adalah, jika memang ada selisih daya yang minus tadi. Itu dapat dipecahkan melalui beberapa alternatif solusi yang tepat dan paling penting adalah efisien. Sekedar catatan, pihak DPR nampaknya menyetujui usulan pemerintah untuk mengalokasikan dana subsidi listrik untuk PLN di awal tahun 2015 kemarin, sebesar Rp 68,7 Trilyun. Hitungan subsidi ini di peroleh dengan asumsi akan ada kenaikan tarif listrik sebesar 15 persen, terkecuali untuk kelompok pelanggan dengan daya 450 VA dan 900 VA. Dan juga masih menahan tarif kenaikan dasar listrik untuk masyarakat menengah ke bawah. Sementara untuk tingkat konsumsi BBM tiap tahun juga mengalami peningkatan.
Dengan total kebutuhan sekitar 50 juta kilo liter. Hal demikian dapat terjadi di sinyalir akibat dari kebijakan keliru menaruh genset yang di sewa pertahun untuk memenuhi kuota energy yang kurang. Alangkah rumitnya jika kita mengurai data tersebut satu persatu untuk masalah suplai energi perusahaan plat merah ini. Maka sudah sepantasnya faktor penghambat aliran energi ini dapat di minimalisir. Alokasi subsidi demikian besar, suplai BBM malah menunjukan grafik menanjak, jadi apa sebenarnya yang salah? Seharusnya kan malah mengalami penurunan. Dikarenakan ada subsidi dari pemerintah pusat untuk mengatasi pasokan daya listrik, supply BBM dan dibangunnya beberapa PLTU yang menopang kinerja elektrifikasi. Mari kita berandai-andai ala hitungan orang awam. Ambil contoh, dalam 1 jam beroperasi sebuah PLTD ataupun genset yang di sewa tadi memerlukan konsumsi 100 liter solar. Maka dalam sehari semalam akan keluar angka 2,4 Ton solar yang dibutuhkan.
Di sisi lain, jika saja mafia tambang tadi turut bermain, maka hitungannya adalah, mati lampu dalam sehari di Provinsi Bangka Belitung selama 2 jam dikalikan 20 hari kerja dalam sebulan, maka solar yang di duga mengalir- keluar wilayah kerja PLN adalah 4 ton solar dalam sebulan. Angka ini berlaku untuk satu PLTD ataupun satu genset. Karena di sisi keluhan pelangan, banyak fakta di lapangan menyebutkan, bahwa audit secara komprehensif belum pernah dilakukan terhadap perusahaan negara tersebut. Juga kejadian perusakan kantor wilayah PLN Bangka Belitung baru-baru ini menunjukkan bahwa, akumulasi emosi massa terkait kinerja perusahaan negara ini sedang di titik nadir. Atau dengan kata lain, PLN wilayah Babel sedang menuai hasil dari benih pelayanan tidak profesional mereka sendiri. Perbaikan jaringan, genset yang rusak, kabel tertimpa pohon, sampai keterlambatan pasokan BBM juga dimasukan sebagai daftar buang badan BUMN ini. Saat padam lampu kerap terjadi. Keadaan stagnan yang menyedihkan ini sudah berlangsung lama dan membosankan. Kiranya patut di uji coba, saran out of box swastanisasi bisnis energi masyarakat ini. Karena sampai kapan kita masih berputar-putar di bangunan korupsi yang diciptakan oleh pengambil keputusan yang keliru. Sudah mahal menyewa genset, iuran listrik yang selalu naik, membangun PLTU-PLTGU ataupun PLTA yang dibiayai uang rakyat. Tapi soal pelayanan, nihil prestasi. Belum lagi kasus-kasus mega korupsi yang kemarin sempat menyeret beberapa eks petinggi PLN. Pertanyaannya adalah, sampai kapan keadaan ini mau terus berlangsung?
(L.Hakim/Salis)