
Terdakwa Elisawati Ex Bendahara Dispora Sumbawa Barat dan Wakil Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Fud Syaifuddin. (Foto: Dok MP NTB)
Mataram Metropol – Perseteruan antara Wabup Sumbawa Barat dan Ex Bendahara Dispora Sumbawa Barat semakin maruncing.
Pasalnya, Wakil Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Nusa Tenggara Barat, Fud Syaifuddin membantah tudingan jika dirinya telah menerima cipratan aliran Uang Persedian (UP), dari Elisawati terdakwa pada kasus dugaan korupsi senilai lebih dari Rp 600 juta.
Begitupula Bendahara Dispora KSB (Elisawati red) tetap kekeuh jika sang Wabup menerima aliran dana seperti yang ditudingkannya.
Sebagaimana diketahui, pada 2015 lalu Dispora memiliki UP sekitar Rp 1 miliar. Dana itu menunjang sejumlah program kegiatan yang dilaksanakan pada dinas tersebut.
“Mereka (Hakim cs red) tahunya hanya proses pencairan UP (Uang Persediaan red ), sementara mereka tidak memahami jalan atau kronologis hingga terjadi pencairan UP tersebut,” ungkap Elisawati kepada awak media di Lapas Mataram, Senin (28/8) kemarin.
Elisawati mengatakan, saat dirinya masih sebagai bendahara belum ada pengajuan UP karena kegiatan belum jalan, sehingga kegiatan dilaksanakan pada triwulan ketiga.
“Hanya saja yang ditanyakan kepada Fud ini (Fud Syaifuddin red) jalan atau melalui siapa saya menuju posisi bendahara ini, siapa yang backing, mustahil kan saya sendiri, siapa sih saya ini,” ujarnya lagi.
Elis menuturkan, kemarin usai sidang Fud memanggil dirinya dan mempertanyakan kenapa namanya disebut-sebut dalam persidangan.
“Kalau memang bapak tidak merasa bersalah tanya saya, cari saya, tapi bapak tidak tanya saya, karena bapak tahu bahwa bapak itu salah,” bebernya.
Dia juga mengatakan bahwa semua potensi dan akses keluarganya telah dicut (potong red).
“Bapak saya kan kelompok tani tiba tiba sejak tahun 2016 sudah tidak dapat bantuan apapun, saudara saya di pindah, teman saya dibuang entah kemana, itu yang membuat saya sangat marah kepada Fud Syaifuddin,” bebernya.
Lebih jauh Elis menuturkan jika bendahara di Dispora KSB itu pakai ring-ringan dimana ring satu dipegang oleh Alfan, sedangkan bendahara ring dua dipegang oleh dirinya.
“Aliran dana itu dari saya mengalir ke Ahmad Alfan (bendahara I red), semua bendahara yang ada dipakai oleh pak Wabup, aliran dananya menggunakan perantara pak Haji (Direktur CV. Makmur red).” dan Haji ini bukan PNS tapi pengusaha, jadi yang kelihatan adalah pengusaha, sementara pak Haji ini termasuk timsesnya yang dikatakan dipersidangan tidak dikenalnya,” ungkapnya.
Elisawati juga mengatakan, ada orang lain yang menyuruh atau memerintah untuk mengeksekusi Pak Haji yang disebutkan sebagai perantara dan pengusaha.
“Iya itu saya disuruh oleh Fud Saifuddin wakil Bupati itu jawabnya dengan lantang. Perintah itu lewat sms, namun ketika penggeledahan dan penyitaan barang bukti dan pemeriksaan oleh kejaksaan KSB HP saya disita semua bukti percakapan dan perintah lewat sms, dan bukti cek serta kwitansi fotonya ada di memori HP saya itu,” tuturnya
Elis menuding semua bukti percakapannya di HP itu dihilangkan termasuk HPnya sehingga statusnya langsung naik jadi tersangka.
“Yang saya sebutkan namanya “Fud Saifudin” ini tidak dipakai oleh Polres Mataram. Pemeriksaan oleh Polres Mataram maupun Polda,” bebernya.
Lanjutnya jika kasus ini diuraikan dari awal pasti ketemu benang merahnya.
“Memangnya siapa saya yang tiba-tiba duduk jadi bendahara, sementara yang diajukan sebelumnya oleh Dikbudpora ke BPKAD adalah Toni Dwi Kurnia bukan Ellisa wati,” terangnya.
Dia menambahkan bahwa pengajuan nama-nama bendahara selalu diakhir tahun anggaran di bulan Desember.
“Saat itu dikembalikan lagi ke Dikbudpora berupa note book yang berwarna kuning dan disitu dituliskan “mohon nama Toni Purnama diganti dengan Ellisa Wati perintah pak Sekda,” ucapnya.
Selanjutnya kata dia, dikirimkan lagi oleh Dikbudpora ke BPKAD tetap nama Toni Dwi Kurnia dan satunya lagi, belum ada nama Ellisa Wati.
(Rahmat/Amrin)