Purworejo, Metropol – Bulan Suro atau Muharam memang mempunyai makna tersendiri bagi Jagad Kejawen. Para pelaku spiritual kejawen beranggapan pada bulan Suro tersebut adalah puncaknya energi gaib. Sehingga tidak mengherankan jika di berbagai pelosok Tanah Jawa banyak digelar ritual-ritual bernuansa gaib.
Seperti jamasan pusaka, ruwatan anak sukerta (sial), padusan, larung sesaji, sedekah laut hingga berendam dalam sungai. Semua itu tak lepas dari kepercayaan bulan Suro adalah bulan sakral dan waktu yang tepat untuk melakukan ritual.
Disamping ritul jamasan dan lainya, pada bulan Suro ini juga banyak masyarakat yang melakukan ritual nyadran atau Suran di tempat-tempat yang dianggap keramat seperti makam, petilasan, Belik dan Beji. Mereka percaya dengan perantara ritual tersebut Yang Maha Kuasa akan senantiasa melindungi dan memberikan rejeki yang melimpah.
Seperti yang dilakukan oleh warga Dukuh Liwung, Kelurahan Tambakrejo, Kecamatan/Kabupaten Purworejo misalnya. Setiap tahun warga Desa tersebut selalu menggelar tradisi nyadran di petilasan (bekas) Mbah Liwung. Tradisi turun temurun itu sudah dilaksanakan sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam. Dalam tradisi tersebut selalu diwarnai dengan penyembelihan kambing di komplek petilasan Mbah Liwung. Jumlahnya setiap tahun bervariasi, mulai dari enam hingga 12 ekor. Dana untuk pembelian kambing diperoleh dari iuran warga sekitar sebesar Rp 15. 000 per kepala keluarga.
Menurut Mbah Slamet (66), juru kunci keturunan ke lima tempat tersebut, tradisi nyadran di petilasan Mbah Liwung di lakukan selama dua hari. Hari pelaksanaanya harus Jumat Kliwon, kalau dalam bulan itu tidak ada hari Jumat Kliwon sebagai penggantinya harus Jumat Wage. “Hari pertama untuk bersih-bersih dan hari kedua penyembelihan serta pembagian daging kambing kepada warga,” kata Mbah Slamet di sela-sela pelaksanaan ritual, Kamis (23/10).
Dijelaskan, dalam ritual penyembelihan kambing tidak melibatkan kaum perempuan. Semuanya dilakukan oleh laki-laki, dari menyembelih hingga memasak dagingnya. Kaum perempuan hanya membantu menyiapkan walimahan atau nasi tumpeng. Mbah Slamet mengaku tidak tahu asal usulnya kenapa prempuan tidak dilbatkan. “Saya tidak tahu pasti penyebanya, karena itu sudah tradisi saya hanya meneruskan saja,” ujarnya.
Kata Mbah Slamet, dikawasan Kabupaten Purworejo dan daerah sekitarnya nama petilasan Mbah liwung memang cukup terkenal. Banyak para peziarah yang datang dari luar daerah seperti Yogyakarta, Solo, Purwokerto mengunjungi tempat tersebut. Tujuan para peziarah bermacam-macam, dari sekedar ngalap berkah hingga urusan kedudukan dan masalah ekonomi. “Bahkan pada malam Juma Kliwon dan Wage banyak yang melakukan tirakat di tempat ini,” tutur Mbah Slamet penuh semangat.
Dalam kesempatan itu, Warjiwan (70), tokoh masyarakat yang juga perangkat desa setempat, keberadaan petilasan Mbah liwung tidak lepas dari legenda Babad Banyuurip yang cukup terkenal. Diceritakan, nama asli Mbah liwung adalah Bethoro Loano atau Anden Loano seorang Adipati yang berkuasa di wilayah Loano.
Karena terjadi perselisihan dengan Pangeran Joyokusumo, penguasa Banyuurip, maka keduanya terlibat pertempuran sengit. Karena kalah sakti, dalam pertempuran itu Bathoro Loano kalah dan lari menghanyutkan diri di Sungai Bogowonto. Setelah beberapa hari terapung-apung air akhirnya Bathoro Loano menepi di Desa Tambakrejo yang letaknya berada di tepi Sungai Bogowonto.
Ditempat inilah pikiran Bathoro Loano merasa Liwung (sedih bercampur putus asa). Untuk menghilangkan kesedihanya karena kalah bertarung, Bathoro Loano kemudian bertapa meminta petunjuk Yang Maha Kuasa. Usahanya tidak sia-sia karena dalam bertapa tersebut Bathoro Loano mendapat petunjuk jika yang mampu mengalahkan Pangeran joyokusumo adalah Ki Langgeng. Setelah mendapat petunjuk tersebut Bathoro Loano kemudian melanjutkan perjalananya untuk mencari Ki Langgeng di Desa Ganggeng tak jauh dari Desa Tambakrejo.
Setelah ketemu, Ki Langgeng menyanggupi untuk membantu Bathoro Loano. Sesuai waktu yang ditentukan maka Ki Langgeng dan Pangeran Joyokusumo bertarung untuk mengadu kesaktian. Lantaran keduanya memiliki ilmu yang seimbang pertempuran antara Ki Langgeng dan Pangeran Joyo Kusumo berlangsung selama berhari-hari. Hinga akhirnya keduanya mengeluarkan senjata pusaka. Pangeran Joyokusumo mengeluarkan pusaka keris Panubiru, sementara ki Langgeng menggunakan keris pusaka Caranggesing.
Begitu ampuhnya kedua pusaka tersebut, keduanya sampyuh (mati secara bersamaan). Jasad Ki Langgeng kemudian diimakamkan di Desa Ganggeng dan sampai sekarang masih ada. Sementara jasad Pangeran Joyokusumo musnah. “Karena keampuhan doa Bathoro loano, sampai sekarang petilasannya dikeramatkan oleh warga,” tutur Warjiman.
Selain memperoleh daging kambing, ratusan warga yang menghadiri tradisi nyadran di Petilasan Mbah Liwung juga menerima cindera mata berupa kerudung dari M. Khoirodin, salah seorang relawan calon Bupati Purworejo nomor urut 1 Nurul Triwahyuni. (Wardoyo)