“Konstitusi tak pernah bahas kedaulatan udara”
Jakarta, Metropol – Adanya tindakan militer Singapura yang sering melakukan latihan di wilayah udara Indonesia, tepatnya di utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau, membuat Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan sikap bahwa TNI AU akan mengusir seluruh pesawat tempur Singapura.
Menurut Gatot, Singapura harusnya meminta izin terlebih dahulu jika ingin menggelar latihan militer, terutama latihan udara.
“Setiap negara Singapura ingin melakukan latihan tempur harus izin. Karena kita dulu punya MTA (Militer Training Area) yang berakhir 2007. Kemudian ada DCA (Defense Cooperation Agreement) juga ada Alpha 1, Alpha 2, Bravo,” kata Gatot kepada wartawan di gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Senin (7/9/2015).
Seharusnya Singapura memperhatikan peraturan perundang-undangan dan juga perjanjian Internasional tentang batas wilayah sebuah negara, termasuk Indonesia.
“Karena ada Pasal 11 (UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional) mengatakan, bahwa setiap perjanjian Internasional harus diratifikasi DPR, dalam hal ini Komisi I. Dan komisi I belum meratifikasi, jadi DCA Alpha 1, Alpha 2 maupun Bravo masih wilayah NKRI. Singapura tidak bisa melarang kita lewat sana, kita ingatkan dan kita usir,” tegas Panglima TNI.
Negara Singapura diketahui menjadi pengelola navigasi udara atau Flight Information Region (FIR) di Kepulauan Natuna, sejak 1946. Padahal kawasan itu merupakan wilayah Indonesia. Dalam hal Singapura menentukan danger area (area berbahaya) hanya untuk keselamatan, bukan untuk latihan militer.
Gatot menjelaskan, di dalam regulasi Annex 11 ayat 2 Pasal 1 poin 1, Flight Information Region (FIR) boleh diberikan kepada negara lain, tetapi hanya terbatas pada operasional pengendalian navigasi udara.
“Kalau sudah melakukan latihan militer tanpa izin Indonesia. Karena sudah masuk wilayah Indonesia. Itu adalah melanggar Annex 11, karena tidak ada kaitannya dengan kedaulatan,” tutur dia.
Sebelumnya Marsekal (Purn) Chappy Hakim mengingatkan akan urgensi unsur udara untuk memperkuat kedaulatan Indonesia. Karena gagasan tersebut pernah dituangkan Presiden RI pertama Soekarno yang melihat ruang udara menentukan eksistensi suatu negara.
Saat itu Chappy menyesalkan tidak adanya unsur udara dalam konstitusi Indonesia hingga saat ini. Meski UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali, namun masalah kedaulatan udara tidak pernah dibahas. Padahal sudah ada kelompok kerja (pokja) yang terdiri dari pakar hukum udara dan ruang angkasa. Namun, tidak dapat juga berbuat banyak untuk menyusupkan dimensi udara pada konstitusi.
Menurut Chappy, bahwa sebuah negara dipengaruhi dua hal. Yakni kemakmuran dan keamanan. Keduanya diwujudkan pemerintah melalui sebuah kebijakan politik, demi memperkuat posisi Indonesia. Pentingnya dimensi wilayah udara dalam pertahanan kedaulatan negara, karena masih banyak kelemahan dalam pengelolaan wilayah udara kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, salah satu yang rawan adalah wilayah perbatasan di Selat Malaka.
Sejak 1946, wilayah udara kedaulatan Indonesia berada di bawah kekuasaan pihak asing. Jadi, semua penerbangan, di antaranya dari Natuna ke Tanjung Pinang hingga Pekanbaru, harus medapatkan izin terlebih dulu dari negara lain, yaitu otoritas penerbangan Singapura. Pada tahun 2007 sudah terjadi banyak kecelakaan pesawat terbang. Status Indonesia yang saat itu, berada dalam kelompok negara dengan kategori 2 penilaian Federal Aviation Administration (FAA) memperlihatkan kelas negara yang belum memiliki persyaratan keselamatan terbang internasional sesuai standar ICAO. Sehingga Indonesia masih di- ‘ban’ oleh otoritas penerbangan Uni Eropa dan dilarang sama sekali untuk terbang ke wilayah Amerika Serikat.
Sejauh ini pengelolaan wilayah udara Indonesia belum memiliki dasar konstitusional. Alasannya, meski sebagai dimensi yang strategis, wilayah udara belum masuk di UUD 1945 yang sudah beberapa kali diamandemen. Jika ingin menjaga kehormatan dan kebanggaan bangsa ini, maka harus bekerja keras agar wilayah udara Indonesia tercantum dalam konstitusi kedaulatan NKRI.
(Delly. M)