
Jakarta, Metropol – Perpanjangan kontrak karya (KK) PT. Freeport untuk eksploitasi SDA Papua (mineral) tidak bisa hanya diputuskan sepihak pemerintah. Bahkan bersama DPR sebagaimana dibicrakan oleh Ketua DPR (SN) dengan Presiden Jokowi (Senin, 2/2/2015). Rakyat Papua harus dilibatkan dalam perpanjangan KK itu.
Rakyat Papua diwakili oleh Gubernur, Ketua DPR Papua, Ketua MRP Papua dan unsur tokoh masyarakat. Keharusan pelibatan pihak Papua ini didasarkan pada bebera pertimbangan. Pertama, terkait degan UU Pemda di pengelolaan SDA merupakan bagian otoritas Pemda. Demikian juga degan UU Otsus Papua.
Jadi Pempus maupun DPR tak bisa membahasnya apalagi menyetujuinya sepihak. Kedua, terkait degan upaya bagaimana jadikan pengelolaan SDA Papua untuk bisa dinikmati sebesar-besarnya untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Khususnya penduduk aslinya.
Pengalaman selama ini, berdasarkan KK yang ada, sangat kecil sekali bagian untuk rakyat Papua dari keuntungan yang diperoleh oleh Freeport. Bahkan untuk minta 1 persen saja dari keuntungan perusahaan asal AS itu baru bisa diperoleh setelah dilakukan demonstrasi besar-besaran. Itu terjadi pada tahun 1996. dimana Gubernur Suaebu saat itu harus meyakinkan degan menyimulasikan “hanya mengambil 1 biji anggur di antara 100 biji yang tersedia di atas meja”, sebagai contoh dari mengambil 1 persen saja 100 persen keuntungan yang diperoleh Freeport. Ketiga, tak terlibatnya pihak Papua dalam proses renegosiasi perpanjangan KK berimplikasi pada terabaikannya kepentingan Papua dalam menentukan kebijakan ekspoitasi SDA yang dimilikinya.
Adanya rencana pembangunan smelter di Jawa Timur oleh Freeport yang cenderung disetujui oleh pemerintah merupakan bukti konkret dari pengabaian terhadap kepentingan Papua itu. “Pemerintahan Jokowi diharapkan benar-benar wujudkan agenda pembangunan beorientasi daerah, apalagi sudah jadi fakta tak terbantahkan, bahwa Kawasan Timur Indonesia umumnya tertinggal, padahal memiliki potensi SDA yang sangat kaya,” tutup La Ode Ida. (Delly M)