Sukabumi, Metropol – Budaya pernikahan dibawah umur yang kerap terjadi disejumlah wilayah di Kabupaten Sukabumi, hingga saat ini, masih terus terjadi. Padahal budaya pernikahan dibawah umur tersebut, terdapat berbagai persoalan.
Seperti yang dikatakan Kepala Sekolah (Kepsek) MTS Torikal Hidayah, Abdusalam menyatakan, ia kecewa dengan sikap salah satu orang tua siswi disekolahnya yang telah memaksakan kehendak untuk menikahkan putrinya yang masih duduk dibangku kelas XII. “Saya kaget ketika mendengar informasi, salah seorang siswi disekolah kami diketahui telah menikah,” kata Abdusalam saat dihubungi melalui selulernya Minggu (1/2/2015).
Devi Andriani Bin Didin, warga Kampung Panganrongan Desa Panumbangan Kecamatan Jampang Tengah Kabupaten Sukabumi, merupakan siswi yang telah terdaftar untuk mengikuti ujian nasional di tahun pelajaran 2014 – 2015. Namun hak didalam mendapatkan pendidikan itu, Devi terpaksa putus sekolah akibat pernikahan dibawah umur. “Devi diketahui lahir pada tanggal 28 Mei 1999, artinya Devi masih berusia 15 tahun, dan pada tanggal 19 Desember 2014, dia sudah dinikahkan oleh orang tuanya,” ungkapnya.
Peristiwa yang dialami salah seorang siswinya tersebut, tidak kemudian terjadi pada remaja – remaja lain. Karena dalam usia yang masih di bawah 18 tahun, secara psikologis, belum siap untuk menjalani rumah tangga. Dan seharusnya remaja itu dituntut untuk tetap bersekolah. “Usia remaja itu waktunya belum tepat untuk berumah tangga, dan pada akhirnya jika dipaksakan berumah tangga, mereka akan dihadapkan dengan permasalahan baru. Karena remaja itu dinilai masih labil, sehingga resikonya pun jelas sangat besar,” paparnya.
Sementara itu, Praktisi Hukum, Munandi Sholeh, menurutnya, budaya pernikahan dibawah umur itu dinilai berbenturan dengan berbagai permasalahan hukum negara dan hukum agama. “Ada dua permasalahan yang berhubungan dengan persoalan terjadinya pernikahan dibawah umur, atau biasa disebut dengan pernikahan dini,” katanya.
Dalam peraturan negara dijelaskan dalam Undang – Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974, bahwa terjadinya peristiwa pernikahan dibawah umur tersebut, bisa dilakukan apabila pasangan pengantin diperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan setelah mendapatkan ketetapan hukum dari Pengadilan Negeri (PN) Agama. “Jika pasangan pengantin yang akan melangsungkan pernikahan itu berusia dibawah 18 tahun. Maka pasangan pengantin tersebut harus mengantongi izin terlebih dahulu dari PN Agama,” jelasnya.
Tidak sampai disitu, lanjut Munandi, prespektif pernikahan dalam hukum negara tersebut, juga harus dilengkapi dengan persyaratan administrasi dan terdapatnya wali dan saksi dari kedua belah pihak. “Dalam hukum negara, pernikahan dianggap sah apabila, persyaratan administrasi itu lengkap, serta terdapat wali dan saksi. Artinya, aturan pernikahan yang dianjurkan oleh hukum islam pun (cukup dengan adanya wali dan saksi serta terjadi ijab kabul) juga disertakan dalam pernikahan secara hukum negara,” ujar Munandi saat ditemui dikediamannya Jalan Bhayangkara Kopeng Gunung Puyuh Kota Sukabumi.
Namun, dosen Syamsul Ulum Kota Sukabumi ini menegaskan, jika terdapat adanya manipulasi data administrasi yang terjadi dalam pernikahan secara hukum negara. Hal tersebut jelas telah teerdapat indikasi kriminal. “Ketika data identitas serta kependudukan pengantin tersebut disengaja dilakukan perubahan, maka jelas sudah melanggar hukum KUH Pidana terkait dengan pemalsuan data,” tegasnya. (Dedi Hendra)