
Jakarta, Metropol – Baru-baru ini Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil mengagalkan penyelundupan sabu 20,4 kilogram yang rencananya akan diedarkan ke sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Menurut Deputi Pemberantasan BNN Irjen Pol Deddy Fauzi Elhakim mengatakan, peredaran narkoba di Lapas sudah sangat merajalela, bahkan bisa dikatakan hampir 50% Lapas terlibat hal ini, karena kemungkinan besar para ‘big bos’ narkoba yang ada di Lapas saling berhubungan antar penguasa Lapas satu dengan yang lain.
Tertangkapnya AS (41) pada operasi 7 Oktober 2015 lalu, mulai terungkap kembali, barang haram ini direncanakan diedarkan di dalam Lapas dan diduga sabu tersebut dari pengedar Guangzho (Tiongkok) yang pernah di tangkap BNN beberapa waktu lalu.
Dari informasi yang diungkapkan AS kepada petugas BNN, juga muncul nama R yang diduga kuat sebagai orang yang mengendalikan peredaran tersebut.
“Ada namanya R, dia bukan bandar tapi dia orang-orang yang mengendalikan peredaran si AS yang dikenalnya saat sama-sama mendekam di lapas Malang,” kata Deddy.
Terkait diketahui merajalelanya peredaran narkoba di dalam Lapas, Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso saat meninjau Lapas Gunung Sindur di Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/10/2015), meminta kepada pejabat Lapas Gunung Sindur, bahwa narapidana kasus narkoba dipisah berdasarkan kategori hukumannya. Cara ini diyakini dapat mengurangi peredaran narkoba dalam lembaga pemasyarakatan. Lapas khusus untuk napi narkoba terdiri dari lima blok, setiap blok tahanan diisi oleh napi dengan kategori hukuman yang berbeda-beda.
“Antara pemakai pemula, pengedar dan bandar, mereka tidak boleh saling bertemu. Nanti bisa ada transaksi,” kata Budi Waseso.
Selain mencegah peredaran narkoba di dalam lapas, Budi mengatakan, pembagian napi berdasarkan kategori hukuman ini dapat mempermudah pengawasan. Ia menilai bahwa blok yang diisi oleh pemakai pemula dengan hukuman satu sampai tiga bulan tidak perlu dijaga terlalu ketat. Adapun blok yang diisi oleh pengedar dan bandar narkoba harus diawasi dengan ketat dan serius.
“Pengawasannya akan lebih efektif,” ucap Kepala BNN tersebut.
Direncanakannya, blok yang dipakai oleh pengguna narkoba pemula bisa digunakan juga sebagai pusat rehabilitasi. Petugas dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, BNN, dan kepolisian bisa memusatkan rehabilitasinya di sana.
Penyebab merajalela peredaran narkoba dan pengendaliannya di Lapas, disinyalir juga adanya oknum yang memanfaatkan pelarangan bagi para narapidana untuk memiliki ponsel pribadi menjadi peluang bisnis bagi para oknum petugas Lembaga Pemasyarakatan (lapas). Sejumlah mantan narapidana mengaku tidak mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan kerabat, klien, maupun keluarganya, karena bisa menyewa ponsel milik oknum penjaga Lapas.
Tarif sewanya Rp 50.000 per hari atau Rp 1,5 juta sebulan untuk HP biasa dan Rp 100.000 sehari atau Rp 3 juta sebulan untuk HP jenis android yang lengkap dengan fasilitas internetnya. Selain menyewa HP, penghuni lapas juga bisa menyewa laptop atau notebook dari oknum petugas.
Hal tersebut disampaikan Sam, salah seorang narapidana di LP Cipinang beberapa waktu lalu kepada wartawan mengatakan, semua ponsel itu disewakan oleh oknum petugas tanpa dilengkapi SIM card, karena para narapidana umumnya sudah mengantongi SIM card sendiri.
Inilah yang menjadi modus bagi oknum-oknum aparat lapas untuk menambah penghasilan mereka dengan menyewakan ponsel kepada para narapidana.
Dengan menyewa ponsel itu, beberapa narapidana bebas kapan saja untuk melakukan hobi atau usahanya, karena bisa bertransaksi dengan menggunakan e-banking atau internet banking.
Dengan e-banking, seorang nasabah sangat mudah bertransaksi dan tak perlu antre di mesin ATM atau di bagian teller sebuah bank.
Kemudahan itulah yang kini dimanfaatkan bandar narkoba dan pelaku penipuan yang dikendalikan dari lapas. Mereka bisa menerima transfer atau mentransfer uang dalam sekejap dengan menggunakan e-banking meski tengah mendekam di Lapas.
Simbiosis Mutualisme
Bisnis jual-beli alat komunikasi di Lapas menciptakan simbiosis mutualisme atau hubungan saling menguntungkan antara oknum petugas sebagai penjual dan narapidana sebagai pembeli.
Petugas berusaha keras menutup-nutupi tindakan ilegal ini dari dunia luar. Sementara itu, sang narapidana tak mau membocorkannya, karena mereka juga membutuhkannya.
Ada uang ada barang. Penghuni Lapas bebas membeli (memesan) alat komunikasi merek apa pun. Narapidana yang banyak duit, semacam koruptor atau bandar narkoba, bisa memilih mau beli ponsel mahal jenis smartphone (ponsel pintar) keluaran terkini atau ponsel biasa saja dengan harga sedang. Sementara itu, narapidana kelas lebih rendah tentu saja mengikuti kemampuan kantongnya.
Oknum petugas penjual ponsel tentu saja berbeda dengan penjual ponsel pada umumnya, seperti di pusat toko ponsel di Roxy atau Glodok. Di lapas, menurut salah satu penghuni lapas, oknum petugas itu pasang tarif 20 persen lebih mahal dibandingkan harga di pasaran.
(Delly M)