LSM KAKI menggelar aksi unjukrasa di depan Kantor KPK terkait polemik dugaan korupsi penggunaan Dana Perkebunan dipungut dari ekspor CPO.
Jakarta, Metropol – Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) menggelar aksi unjukrasa di depan Kantor KPK, Jakarta, pada Rabu (17/5) lalu. Aksi unjukrasa tersebut digelar KAKI terkait polemik dugaan korupsi penggunaan Dana Perkebunan dipungut dari ekspor CPO sebesar 50 US dollar/ton yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Dalam orasinya, Ketua Umum (Ketum) Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI), Arifin Nur Cahyono menyampaikan bahwa, secara jelas terdapat banyak kejanggalan dalam penggunaan Dana perkebunan itu oleh BPDP.
Arifin membeberkan, indikasi perilaku korup itu dimulai semenjak penerbitan PP nomor 24 tahun 2015 dan Perpres 24 tahun 2016.
”PP tersebut melanggar UU no 39 tahun 2014 yaitu penggunaan Dana Perkebunan untuk mensubsidi Industri biofuel,” beber Arifin dalam orasinya.
Pada kesempatan itu, Arifin juga mengingatkan pernyataan KPK selama dua bulan terakhir yang mengatakan bakal melakukan penyelidikan penggunaan Dana Perkebunan yang dipungut dari ekspor CPO sebesar 50 US dollar/ ton dan dihimpun oleh BPDP yang jumlahnya puluhan triliun itu.
Menurut dia, bila hal ini ditelusuri lebih mendalam, sudah hampir 90% dalam 2 tahun terakhir ini dana pungutan ekspor sejumlahnya puluhan trilyun digunakan mensubsidi Industri biofuel tanpa ada audit dari BPK.
“Disinilah diduga penyelewengan oleh BPDP yang ‘kongkalikong’ dengan 11 perusahaan biofuel yang menggunakan bahan baku CPO,” teriak Ketum KAKI penuh nada curiga.
Arifin menegaskan, bahwa selama BPDP tidak diaudit, maka dipastikan dana BPDP disalurkan ke industri biofuel dengan jumlah produksi biodiesel disubsidi oleh BPDP.
“Disinilah muncul keanehan dan kejanggalan akan dana Perkebunan diambil dari pungutan ekspor CPO pelaku usaha Perkebunan Sawit termasuk para Petani sawit, malah justru digunakan tanpa ada kontrol dan aturan yang jelas dalam alokasi besaran untuk mensubsidi Industri Biofuel,” terangnya.
Hal itu kata dia, sangat bertentangan dengan perundangan yang berlaku karena Dana Perkebunan tidak diperuntukan untuk subsidi industri sebagaimana yang tertuang di dalam UU Perkebunan no 39 tahun 2014.
Arifin juga menyebutkan, bahwa selain pembiayaan subsidi biodiesel yang melanggar UU Perkebunan, BPDP juga mengalokasikan Dana Perkebunan Sawit untuk membiayai riset yang terkesan hanya sebatas membuat pencitraan BPDP. “Anehnya lagi, lebih banyak riset untuk charity yang bertujuan membuat citra BPDP bagus,” timpalnya.
Padahal lanjut dia, akan lebih baik sekali bila risetnya diarahkan yang bermanfaat langsung bagi kelapa sawit, seperti strategi untuk menghadapi kampanye negatif ‘black campaign’ terhadap sawit.
Arifin menyebutkan, bahwa akibat 90% dana Perkebunan digunakan untuk subsidi biofuel telah menyebabkan petani tidak mendapatkan dampak positif dari keberadaan BPDP.
“Tidak berdampak apapun terhadap para petani sawit, bahkan menyebabkan program yang lain seperti pembangunan sarana dan prasarana perkebunan dan peremajaan kebun sawit rakyat praktis tidak ada hasil hingga kini,” ungkapnya.
Lebih jauh Arifin mengemukakan, akibat pungutan ekspor CPO yang dijadikan Dana Perkebunan sawit turut pula merugikan petani sawit.
“Inilah yang berakibat pada beban pungutan ekspor CPO berdampak pada tidak optimal harga Tandan Buah Segar sawit milik Petani. Karena pabrik CPO membebani pungutan tersebut pada harga beli Tandan Buah Segar Petani,” jelasnya.
Maka itulah, pihaknya mendesak KPK supaya tidak lamban memeriksa penggunaan Dana Perkebunan yang digunakan untuk mensubsidi biodesel yang jumlahnya mencapai puluhan trilyun.
”Diduga ada ‘mark up’ terkait jumlahnya produksi biodiesel yang disubsidi dengan Dana Perkebunan sawit,” terangnya.
Olehnya itu, pihaknya juga menyampaikan empat tuntutan yakni Mendesak Menko Perekonomian selaku Ketua Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit untuk segera menghentikan sementara pengunaan Dana Perkebunan untuk subsidi industri biodiesel.
Lanjut Arifin, pemerintah harus membubarkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, sekaligus merevisi dan membatalkan atau mencabut pasal 9 ayat (2) huruf b, peraturan pemerintah nomot 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan pasal 11 ayat (2) , peraturan Presiden nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
“Menghapuskan Pungutan Ekspor CPO dengan mencabut Peraturan Menteri Keuangan nomor 114/PMK.05/2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kebun Sawit, sebagaimana diubah dengan PMK-30/PMK.05/2016,” pungkasnya.
(Fri/Barly)