We have a (very short notice!) delegation of Members from the In

Jakarta, Metropol – Presiden Jokowi dikabarkan mengecam desakan reshufle kabinet yang terus dilontarkan oleh sejumlah pihak dalam beberapa bulan terakhir (Koran Tempo, 7/12), seraya menghimbau agar kabinetnya bekerja sesuai bidangnya. Publikasi Kemen PAN-RB tentang kinerja kabinet juga agaknya dianggap melampaui kewenangannya, sekaligus dianggap dari tekanan internal kabinet agar jika reshufle nanti haruslah dipertimbangan dari hasil penilaian itu. Celakanya, publikasi itu bisa dianggap telah ‘permalukan kolega sendiri’, padahal para meternya belum pernah didiskusikan atau dibuka ke publik sebelumnya,” kata La Ode Ida kepada Metropol, di Jakarta, Kamis 07/01).

Saya sangat setuju dengan sikap Pak Jokowi ini. Mengapa?

Pertama, pihak-pihak itu terkesan sudah mendikte atau dipaksakan kepentingan pada Jokowi. Ini jelas tak etis. Semua itu juga harus diwaspadai, karena biasanya pihak-pihak yang terlalu ngotot atau ‘ngebet’ untuk segera jadi menteri memiliki agenda pribadi yang bukan saja belum tulus melainkan juga berpotensi membahayakan. Maka Jokowi memang perlu sangat hati-hati merespon keinginan pihak-pihak itu.

Kedua, dan ini sudah berulang kali diingatkan, isu reshufle hanya akan mengganggu kinerja para menteri. Tak ada juga jaminan kalau menteri pengganti nanti akan berkinerja optimal, lantaran yang bersangkutam masih harus lakukan adaptasi dengan lingkungan kementerian yang akan dipimpinnya. Program-program kementerian pun sudah tersedia, tak mungkin berubah secepat kilat.

“Jika Jokowi konsisten dengan pernyataan kesalnya itu, maka niscaya akan sedikit stabil. Tapi syaratnya Presiden Jokowi juga harus tegas,” pungkas La Ode Ida, mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dua periode Wakil Ketua DPD (2004-2009 dan 2009-2014), ini.

Ditambahkannya La Ode Ida, menurutnya, “tuntutan reshufle bukan berarti tak bisa diakomodasi. Boleh-boleh saja, tentu sayaratnya harus lebih profesional dan tak ciptakan kegaduhan baru yang akan mengganggu kinerja pemerintahan. Caranya, menurut dia, antara lain, membagi periode menteri untuk jangka waktu 2,5 thn. Jika ini dilakukan, maka sejak awal seorang menteri sudah menyiapkan diri bertugas untuk waktu tertentu.

“Akan selalu nyaman dalam bekerja membantu Presiden; tidak seperti sekarang ini. Pergantian menteri untuk periode 2,5 tahun pun akan menjadikan banyak kader potensial yang bisa dimanfaatkan sekaligus diuji kemampuannya.,”tutup La Ode.

(Yuyung/Ir)

KOMENTAR
Share berita ini :