Gatot Nurmantyo 3

“Jika ada perintah dari pemerintah untuk penyelamatan, TNI siap diterjunkan”

Jakarta, Metropol – Keselamatan dua warga negara Indonesia di Papua yang disandera sejak 9 September lalu, yang diduga kuat pelaku penyanderaan dari kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) tergantung dari keputusan pemerintah negara Papua Nugini (PNG). Hal tersbut di sampaikan juga oleh Kapolri Badordin Haiti.

“Ya makanya sangat tergantung dari pemerintah di sana, tapi kita tidak punya kewenangan di sana. Sama juga dengan koruptor yang lari ke luar negeri, biar kita bertemu begini, namun kita tidak bisa menangkap. Karena itu bukan wilayah kita,” tutur Badrodin.

Dalam hal kesiapan, sebenarnya TNI sudah menyiapkan antisipasi untuk melakukan penyelematan 2 WNI tersebut. Namun TNI menyerahkan sepenuhnya terhadap pemerintah Papua Nugini dan menghargai langkah-langkah pembebasan sandera itu.

Pihak PNG telah melakukan negosiasi dengan pelaku penyanderaan, dari hasil itu pelaku meminta dengan cara menukarkan dua sandera dengan rekan mereka yang ditahan di Polres Keerom, Papua. Dua rekannya ditahan oleh aparat Kepolisian, karena kasus narkoba pada tahun 2012 yang menyebabkan tragedi Abepura berdarah terkait penyerangan Polsek setempat oleh kelompok separatis.

Menurut Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, TNI tidak memiliki kewenangan terhadap permintaan barter tersebut.

“TNI tidak punya kewenangan proses hukum (barter tahanan). Kita tunggu saja hasilnya. Mereka minta pembebasan apakah TNI punya kewenangan, tidak,” kata dia.

Namun saat disinggung TNI pernah membebaskan sandera dalam pesawat di Thailand pada tahun lalu. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat ini mengatakan, jika ada perintah dari pemerintah untuk menyelamatkan 2 WNI itu, TNI akan siap diterjunkan.

“TNI 24 jam siap, diperintah sekarang kami siap,” tegasnya.

Kronologi kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyandera 2 WNI. Menurut Kapuspen TNI Mayjen Endang Sodik, kasus tersebut berawal saat 4 WNI tengah menebang kayu di kampung Skopro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom. Kampung tersebut merupakan salah satu daerah yang berada di perbatasan RI-PNG. Satu dari empat WNI itu lalu ditembak kelompok bersenjata tersebut.

Baca Juga:  Panglima TNI Hadiri Sidang Perdana Dewan Pertahanan Nasional

“Jadi kan tanggal 9 September aksi gerakan separatis OPM atau gerakan separatis Papua bersenjata telah menembak mati satu penebang kayu di kampung Skopro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom. Dari kasus itu dikembangkan ternyata yang kena ada 4 orang yang bekerja itu, satu mati, satu melapor Polres. 2 orang tidak diketahui. Pada tanggal 11 September ternyata 2 orang itu dibawa ke daerah Skowtiau itu wilayah PNG,” kata Endang seperti yang dilansir Metropol.

Endang mengatakan, TNI sudah meminta tentara PNG membebaskan kedua sandera tersebut dengan mengutamakan keselamatan mereka. Namun hingga kini belum ada pernyataan dari kelompok yang menyandera kedua WNI tersebut. Karena itu sudah masuk PNG maka TNI dan Kodam berkoordinasi dengan konsulat TNI di Panina di PNG. Kemudian melakukan kontak atase pertahanan di PNG untuk bersama-sama konsulat RI meminta kepada Bupati Paninai dan Tentara PNG agar melakukan negosiasi.

Mengenal terjadinya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Menurut Dr. George Junus Aditjondro, pada tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Lahirnya OPM di kota Manokwari yang ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu “proklamasi OPM” yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat, karena pengangguran yang tinggi dan kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).

Baca Juga:  Pangkoopsud II Serahkan Penghargaan Kepada Satuan Terbaik dan Personil Berprestasi

Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan “proklamasi OPM” serta “pengibaran bendera OPM” yang kesekian kali.

Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya.
Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.

Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah “Papua Barat”, seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara “Melanesia Barat”. Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.

Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM mendapat perhatian luas.

Mengenai adanya penyanderaan 2 WNI oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengutuk keras terhadap kejadian tersebut.

“Kita mengutuk keras karena melanggar hak,” kata Gatot di Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Selasa (15/9/2015).

Gatot mengaku, bahwa TNI tidak bisa berbuat banyak. Karena lokasi penyanderaan itu di negara lain. “Di negaranya PNG mau diapain,” katanya.

(Delly M)

KOMENTAR
Share berita ini :