Jakarta, Metropol – Kendati sudah berganti-ganti pemerintahan, namun pola penganggaran yang digunakan masih seperti Pemerintahan yang sebelum-sebelumnya.
Besaran anggaran di Pemerintah Pusat, sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang didistribusikan ke daerah-daerah provinsi. Padahal, di daerah provinsi itulah ada kabupaten/ kota, yang sangat membutuhkan anggaran pembangunan dan kesejahteraan.
Bayangkan jika Indonesia ini memiliki 34 daerah provinsi yang menaungi lebih dari 500-an daerah kabupaten/ kota. Logikanya, total anggarannya masih sekitar 20-30 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tak sepadan dengan kebutuhan perkembangannya.
Sebab itu, kedepan, kebijakan komposisi pembagian anggaran dari APBN, mestinya menitik beratkan ke daerah-daerah. Selanjutnya, kebutuhan anggarannya dapat dipenuhi untuk mengejar pertumbuhannya.
Demikian pandangan Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Charles Simare-mare, S.Th, M.Si saat bincang usai Rapat Paripurna DPD RI, Kamis (17/3) kemarin, di lobby Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
“Menurut saya, jika Negara ini ingin daerah-daerah lebih maju dan berkembang, maka anggaran ke daerah itu harusnya diberi kesempatan lebih besar dibandingkan di Pusat,” katanya mengawali pembicaraan soal perkembangan daerah-daerah.
Anggota DPD RI perwakilan Papua ini menilai, kebijakan anggaran APBN selama ini selalu berpihak ke Pusat, yang justru kontradiksi dengan cita-cita mengejar ketertinggalan pembangunan daerah.
“Selama ini kita menganut perimbangan anggaran di pusat dan daerah itu, dengan komposisi di Pusat jauh lebih besar dibanding daerah. Anggaran di Kementerian termasuk belanja pegawai dari total APBN kita, sangat besar, hampir 70 persen. Sedangkan daerah, ada 34 provinsi, yang cuma kebagian sekitar 30 persen. Ini berarti Pemerintah tidak berpihak kepada rakyat di daerah,” ungkapnya.
Padahal, kata Charles, tuntutan pembangunan di daerah itu juga tinggi, yang secara otomatis membutuhkan anggaran yang tinggi secara proporsional.
“Jadi bagaimana daerah bisa lebih berkembang kalau anggaran di Pusat jauh lebih besar? Ini yang sebenarnya bertolak belakang. Kebijakan Pemerintah sekarang tidak adil,” bebernya.
Sebab itu, lanjut Charles, jika ingin pembangunan daerah-daerah provinsi lebih maju maka harus didukung dengan anggaran yang sesuai kebutuhan pembangunannya.
“Ini yang saya kira perlu dipertimbangkan kembali oleh Pemerintah, dalam kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Anggaran ke daerah-daerah mestinya lebih diperbesar, dan anggaran di Pusat disesuaikan. Kalau bisa, kasih dong untuk 34 provinsi itu sekitar 60 hingga 70 persen. Biarlah di Pusat sekitar 30 persen, supaya daerah-daerah itu lebih berkembang,” tandasnya.
Dicontohkan mantan anggota DPRD di Papua ini, dari dana Otsus Papua dibandingkan dengan hasil bumi yang diterimanya, itu sangat jauh bedanya.
“Ambil contoh di Papua, misalnya anggaran yang diberikan hanya sekitar 5 triliun. Ini sudah termasuk Otsus. Paling di tingkat provinsi hanya sekitar 20 persen. Sedangkan 80 persen lagi dibagi ke puluhan kabupaten/ kota. Bagaimana bisa berkembang? Belum lagi Papua itu sangat spesifik. Soal luas wilayah, tingkat kesulitan mencapai satu wilayah dengan wilayah lainnya, juga menyebabkan tingginya harga-harga,” paparnya.
Ditanya soal kebijakan Pemerintah dengan adanya Dana Desa, pak Pendeta yang sangat ramah ini mengatakan sudah baik, namun tetap saja belum cukup.
“Soal kebijakan Pemerintah mengenai Dana Desa memang sudah baik. Namun menurut saya, tetap saja belum cukup. Sebab perlu adanya perubahan paradigma tentang membangun daerah, yang harus didukung dengan anggaran yang cukup di 34 provinsi. Ini substansinya,” pungkasnya.
Sementara itu, dalam pidato penyampaian Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2016 beserta Nota Keuangannya, di depan rapat paripurna DPR-RI, Presiden Jokowi menegaskan Pemerintah tetap pada tekadnya membangun Indonesia dari pinggiran sebagai penjabaran Nawacita.
Jokowi menjelaskan, tahun 2016, pemerintah melakukan perubahan kebijakan alokasi Dana Alokasi Khusus dengan mekanisme penyampaian usulan kegiatan dan kebutuhan pendanaan dari Pemerintah Daerah ke Pemerintah Pusat.
Sebab itu, kata Jokowi, besaran anggaran belanja negara untuk tahun 2016 direncanakan sebesar Rp 2.121 triliun. Dari jumlah itu, anggaran transfer ke daerah dan dana desa, dianggarkan sebesar Rp 782,2 triliun (sekitar 36,8 %).
Relatif tingginya porsi alokasi anggaran di Pusat, terletak pada fungsi pelayanan umum, yang merupakan konsekuensi dari pelaksanaan fungsi utama pemerintah untuk menjamin kualitas dan kelancaran pelayanan kepada masyarakat. Beberapa diantaranya terdiri atas: pemberian subsidi, pembayaran bunga utang, dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis pemerintah, penataan administrasi kependudukan, pembangunan daerah, serta penelitian dan pengembangan Iptek.
(MP/DANS)