Jakarta, Metropol – Terjadinya peristiwa kerusuhan di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, sehingga menyebabkan terbakarnya rumah ibadah, membuat kecaman dari berbagai pihak.
Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti kejadian bermula dari kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat soal penertiban 21 gereja yang tidak berizin, Senin.
“Oleh Pemda akan ditertibkan. Atas desakan masyarakat akan dilakukan pembongkaran,” kata Badrodin dalam konferensi pers di rumah dinasnya, Jakarta, Selasa.
Senin malam, dilakukan pembicaraan yang pada akhirnya menyepakati pembongkaran gereja yang akan dilakukan pada 19 Oktober. Namun, perwakilan masyarakat yang hadir di pembicaraan itu tidak diakui oleh kelompok perusuh. Saat itu, Polri telah mengamankan 21 gereja yang dipermasalahkan. Namun, karena lokasi yang tersebar, Polri hanya bisa menempatkan 20 orang di satu objek. Sementara itu, massa yang bergerak jumlahnya mencapai 500 orang. Karena itu, pembakaran rumah ibadah pun tak terhindarkan setelah massa bergerak.
“Setelah membakar gereja massa bergerak ke desa tadi. Di situ terjadi bentrok massa yang telah membakar dengan yang menjaga. Dari situ terjadi korban,” jelasnya.
Menurut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Rumadi Ahmad. Dalam prosesnya, PBNU melihat ada sebuah tren baru dalam peristiwa dikaitkan dengan isu keagamaan, mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi berdekatan dengan hari raya keagamaan.
“Saya tidak tahu ini kebetulan atau rekayasa tapi peristiwa ini menggunakan momentum hari besar keagamaan,” kata Rumadi saat ditemui di kantor Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Selasa (13/10).
Seperti diketahui pada hari Rabu (14/10), umat Muslim akan merayakan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1437 Hijriah. Peristiwa di Aceh Singkil terjadi hanya satu hari sebelum perayaan tersebut dilakukan. Tak hanya peristiwa itu saja, beberapa contoh kasus lain yang terjadi di Tolikara, Papua, sekitar empat bulan lalu. Saat peristiwa terjadi, umat muslim di Indonesia tengah merayakan hari raya Idul Adha.
Sangat disesalkan kejadian seperti ini kembali terjadi di Indonesia. Apalagi kejadian di Aceh Singkil bukan yang pertama kali terjadi. Masyarakat Indonesia terlalu mudah untuk terprovokasi oleh masalah-masalah yang bersinggungan dengan agama. Padahal, pada dasarnya, semua agama selalu mengajarkan toleransi.
“Tapi karena ada virus intoleran, maka masalah seperti ini bisa terjadi. Jika tidak bisa diatasi mungkin saja kejadian yang sama terjadi di tempat lain,” kata Rumadi.
Dugaan adanya siapa dan kenapa terkait beberapa peristiwa yang bersinggungan dengan agama disinyalir juga oleh Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Fajar Riza Ul Haq. Menurutnya, aparat kepolisian harus mengungkap motif dan otak di balik mobilisasi massa dalam peristiwa tersebut, sehingga keadilan ditegakkan bagi semua pihak yang terlibat, tidak sebatas untuk satu kelompok.
Kelompok massa tersebut, telah melanggar kesepakatan dan bertindak main hakim sendiri. Tuduhan, bahwa warga gereja telah melanggar kesepakatan dalam hal pembangunan gereja di wilayah Aceh Singkil, harus diungkap alasannya. Apakah ada kondisi yang memaksa mereka melakukan pelanggaran, seperti dipersulit perijinannya atau didorong motivasi mereka sendiri.
Aksi sekelompok massa bersenjata yang berupaya membongkar paksa, bahkan membakar gereja di Kabupaten Singkil, Aceh, harus secepatnya diusut dan ditindak tegas. Membiarkan penyelesaian kasus ini berlarut-larut hanya akan menyulut kesimpangsiuran informasi. Bahkan dikhawatirkan bisa menyuburkan berita keliru. Pemerintah harus berlomba dengan waktu, jangan sampai publik dibiarkan mengkonsumsi mentah-mentah pesan berantai yang mengeksploitasi ketidakjelasan kasus di Aceh Singkil.
Wakil Ketua Umum PBNU Slamet Effendy Yusuf pun menyesalkan, seharusnya konflik antar warga seharusnya tidak sampai membakar rumah ibadah. Meskipun begitu, Slamet menolak menghubungkan kejadian pembakaran rumah ibadah dengan syariat Islam yang diterapkan di Aceh.
Menurutnya, pembakaran tersebut terjadi, karena kurangnya pembinaan terhadap kerukunan beragama. Tidak hanya kurangnya pembinaan, kesenjangan sosial juga dituding menjadi penyebab warga bertindak anarkis. Slamet kemudian mengimbau agar warga NU yang berada di Aceh untuk tidak mencontoh kejadian tersebut. Menurutnya, perdamaian umat beragama harus dijaga.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, pihaknya mengutuk bentrokan yang mengakibatkan pembakaran rumah ibadah di Aceh Singkil, peristiwa ini menjadi tantangan bagi Pemerintah Daerah Aceh untuk menjaga persatuan dan kedamaian.
Untuk siapa dan kenapa? terkait beberapa peristiwa yang bersinggungan dengan agama, apakah berkaitan dengan isu Proxy war yang telah menyelinap ke dalam pikiran penulis Resonansi, ketika dalam beberapa konperensi dan seminar di tanah air yang diselenggarakan perguruan tinggi dan ormas Islam mendapat pernyataan dan pertanyaan berbau sektarianisme bernada perang tentang bahaya Syi’ah di Indonesia. Dengan nada seperti itu, komunitas-komunitas agama berbeda, khususnya Islam Indonesia, sudah dekat pada proxy war.
Kecenderungan meningkatnya pernyataan dan pertanyaan tentang subyek ini terlihat di tanah air, sedikitnya dalam masa sepuluh tahun terakhir. Peningkatan itu juga lebih jelas bisa disimak di dunia maya. Banyak sekali situs memprovokasi umat beragama melakukan tindakan yang tidak lain adalah proxy war.
Peningkatan sektarianisme bersemangat proxy war dewasa ini terkait banyak dengan terus meningkat kontestasi politik, ekonomi dan agama di antara Arab Saudi dengan Iran. Kontestasi ini bukan hal baru, karena kedua negara telah terlibat dalam perebutan pengaruh selama lebih dari 30 tahun tidak hanya di dunia Arab dan Asia Selatan atau Asia Barat Daya, tetapi juga di banyak bagian lain dunia Islam, bahkan juga di antara komunitas Muslim yang berbeda etnis, tradisi sosial-budaya dan paham keislaman di Eropa dan Amerika Utara.
(Delly M)