“Sejumlah negara ASEAN telah jauh-jauh hari belajar bahasa Indonesia untuk bisa masuk pasar Indonesia”
Jakarta, Metropol – Dalam rangka memperingati 70 tahun hari jadi bahasa negara, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar seminar dan Lokakarya Kebahasaan Adat dengan mengangkat tema ’70 Tahun Negara Berbahasa Indonesia: “Merajut Kebhinekaan Bangsa Menuju Bahasa Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)”. Dalam kesempatan itu, mereka menargetkan bahasa Indonesia menjadi bahasa MEA.
“Untuk merealisasikan target bahasa Indonesia sebagai bahasa MEA, badan bahasa melakukan berbagai upaya diantaranya memperkuat bahasa Indonesia di masyarakat Indonesia sendiri melalui kegiatan literasi, standarisasi uji kemahiran bahasa Indonesia, penyusunan berbagai kamus, kajian kebahasaan, pengembangan pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing di Indonesia dan berbagai negara,” kata Kepala Badan Bahasa, Prof. Dr. Mahsun, MS., di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015 para Tenaga Kerja Asing (TKA) yang hendak bekerja di Indonesia harus belajar dan mahir menggunakan bahasa Indonesia. Untuk itu, Tes kemampuan bahasa Indonesia segera diberlakukan dan menjadi salah satu syarat wajib para TKA. Mereka akan dites kemampuan berbahasa Indonesia melalui Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI) sesuai jenjang melalui program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) pada Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa atau disingkat Badan Bahasa.
Saat ini negara-negara seperti Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Filipina sudah serius mempersiapkan diri untuk MEA 2015 melalui pelatihan bahasa Indonesia bagi tenaga-tenaga kerjanya di samping bahasa Inggris. Sebagaimana diungkapkan Chairperson Enciety Business Consult Kresnayana Yahya, bahwa sejumlah negara ASEAN telah jauh-jauh hari belajar bahasa Indonesia untuk bisa masuk pasar Indonesia.
Melalui MEA ini bahasa Indonesia telah dapat menaklukkan bangsa lain melalui internasionalisasi. Hal itu tak berlebihan, karena UU sendiri mengamanahkan perjuangan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Pasal 44 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan menyatakan, ayat (1) “Pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.“ Disambung ayat (2), “Peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan.“ Artinya, menginternasionalisasikan bahasa Indonesia tidak sekadar amanah, tetapi juga sebagai kewajiban. Sehingga menjelang MEA 2015 ini, bahasa Indonesia sudah semacam lingua franca di Asia Tenggara, karena bahasa Indonesia merupakan pendewasaan dari bahasa Melayu.
Untuk masa mutakhir ini, di Malaysia bahasa Melayu bahkan harus diterapkan paksa oleh orang-orang Melayu yang dominan secara politik, tetapi ditentang orang Tionghoa, India, dan orang-orang “Kalimantan Utara” yang bercakap entah dalam bahasa aslinya sendiri yang asing (Tionghoa, India) atau lingua franca (Inggris). Ini tentu merupakan peluang bagi kita untuk kembali mere-linguafranca-kan kembali bahasa Indonsia. Apalagi bahasa Indonesia sejak kelahirannya merupakan terjemahan dari kesepakatan yang visioner. Indonesianis seperti Ben Anderson mencatat, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang mencapai sebuah bahasa nasional tanpa tentangan dan yang sekaligus juga merupakan lingua franca ialah Indonesia.
Menurut Riduan Situmorang, Konsultan Bahasa; Pegiat Sastra dan Budaya, bahwa terpulang kepada pemerintah, apakah MEA ini menjadi momen penting untuk menginternasionalisasikan bahasa Indonesia atau malah sebaliknya. Orang luar mempelajari bahasa Indonesia untuk kemudian melumatnya atas nama globalisasi? Yang pasti, ini adalah peluang untuk mempersiapkan dan mengambil momen MEA dalam menginternasionalisasikan bahasa Indonesia sangat luas.
Terang sekali, mereka membutuhkan bahasa Indonesia, sehingga sudah semacam kewajiban bagi mereka untuk mempelajarinya. Kalau demikian adanya, bukankah seharusnya mengembangkan bahasa Indonesia juga sudah harus menjadi kewajiban bersama.
(Yuyung)